Bapa Ingin Naik Haji

Oleh: Syah Azis Nangin

Pagi ini suasana di depan rumahku yang beratapkan ijuk itu terasa haru bercampur bahagia ketika Bapa mau berangkat untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, berhaji ke Baitullah. Burung-burung berkicauan seakan mengiringi keberangkatannya, serasa mereka ikut bahagia karena akan ada orang yang berangkat haji dari desa kami. Udara sejuk desaku begitu terasa sampai ke paru-paru hampir-hampir aku enggan mengeluarkannya dari dalam tubuhku. Beberapa sanak famili juga kelihatan ikut mengantar Bapa berangkat. Ada nande, bibi, bengkila, mama, juga mami serta beberapa orang warga desa turut melepas keberangkatan Bapa.

Ia merupakan orang pertama yang berangkat haji dari desa kami, Laubuluh. Sebuah desa terpencil yang berada jauh di pedalaman dataran tinggi Karo. Selama ini belum ada yang tergerak hatinya untuk berangkat haji karena memang yang memeluk agama Islam baru sedikit. Baru beberapa kepala keluarga. Keluarga terdekat kami seperti Mama, kakak kandung Nande pun belum beragama Islam. Ia masih teguh pada kepercayaan lamanya. Masih sering melakukan pemujaan terhadap benda-benda keramat yang dianggap memiliki kekuatan gaib.

Nande. Ia tetap tersenyum walaupun ia tidak ikut berangkat haji karena uang yang telah ditabung sekitar sepuluh tahun terakhir baru cukup untuk memberangkatkan satu orang calon haji. Namun ia tetap bersyukur karena Bapa dapat berangkat walau tanpa nande. Ia mencoba memahami keadaan. Kalau saja ditunggu sampai mampu memberangkatkan dua orang mungkin sepuluh tahun yang akan datang pun tidak akan mampu. Uang yang dipakai ayah untuk berangkat haji adalah hasil penjualan jagung kami yang dikumpul selama bertahun-tahun terakhir.

Mata Bapa berkaca-kaca. Baru kali ini niat yang selama ini tertanam dalam hatinya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima terkabul. Bibirnya gemetaran mengucapkan kalimat talbiah. Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Serta memuji Allah sebagai rasa syukur. Innal hamda wan Ni’mata laka walmulk la syarika laka labbak. Terdengar lirih namun jelas. Hatinya pun serasa bergemuruh. Sesekali di sela-sela dzikirnya ia sempatkan untuk mengucapkan salam kepada kami yang akan ditinggal.

Sebenarnya kami bukan keluarga yang kaya raya. Bukan pejabat bukan juga konglomerat, kami hanya petani jagung. Karena keinginan kuat Bapa untuk berangkat haji disertai kegigihannya menabung mengumpulkan uang setiap kali panen jagung, akhirnya uang yang dikumpulkan cukup untuk memberangkatkan haji walau satu orang. Setiap sehabis sholat di rumah ia senantiasa memandang ke arah poster Ka’bah dan Masjid Nabawi yang dipajang di dalam rumah.

Keberangkatan Bapa ke Mekkah bukan hanya untuk menunaikan haji. Ia juga ingin menuntut ilmu di tanah Arab. Ia ingin mengadakan revolusi pada masyarakat tanah Batak yang masih banyak menganut paham dinamisme. Harapannya, sekembalinya ke tanah air, ia mampu berdakwah kepada masyarakat sekitar terutama masyarakat desa kami yang masih percaya dan mengharap pada kekuatan-kekuatan gaib pada benda-benda yang dianggap keramat.

Keislaman Bapa sendiri sebenarnya bukan sejak lahir. Ketika tinggal di sebuah asrama Katolik di Kabanjahe, ia mencoba mencari kebenaran agama-agama termasuk kepercayaan-kepercayaan lama. Mana kira-kira agama yang benar, yang cocok dengan tatanan alam dunia menjadi harmonis. Agama yang mampu mengatur alam semesta, bukan hanya mengatur antara manusia dan Tuhannya tapi juga dengan sesama manusia maupun kepada alam sekitar. Ia mencari agama yang humanis, yang memanusiakan manusia.

Dalam kajian-kajian yang ia ikuti baik ketika berada di asrama Katolik maupun di masjid Al-Huda yang dipangku oleh Haji Sulaiman, orang yang pertama sekali naik haji dari tanah Karo, ia menemukan banyak perbedaan yang mencolok antara kedua agama ini. Namun pada akhirnya, ia menemukan bahwa Islamlah yang paling benar. Dengan keyakinan bahwa Allah Maha Esa, tempat bergantung semesta alam, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan yang tidak ada yang sebanding dengannya. Ia mengikrarkan untuk bersaksi bahwa Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Akhirnya Bapa masuk Islam dan ia juga orang yang pertama masuk Islam dari desa kami.

Sekarang ia ingin berangkat haji. Ia ingin seperti Haji Sulaiman yang di tangannya banyak orang bersyahadat. Ia juga ingin seperti Haji Ahmad Dahlan yang banyak memberi pencerahan kepada umat Islam di tanah air. Ia juga ingin seperti Hasyim Asya’ari yang bijak menghadapi orang-orang Jawa yang masih kental dengan budaya Hindu-Budha di tanah Jawa.

King, Bapa berangkat ya. Insya Allah Bapa tidak lama di tanah suci. Kamu titip Doa apa? Nanti Bapa sampaikan kepada Allah di sana agar doamu dikabulkan.” Ayah mencoba menghiburku karena ia juga melihat mataku yang mulai berkaca-kaca hampir-hampir meneteskan air mata.

Pa, aku mau Bapa cepat pulang”. Pintaku.

Ya Insya Allah”. Ayah kembali menghiburku sambil memegang kepalaku menandakan bahwa ia sangat sayang kepadaku.

Tepat pukul tujuh pagi Ayah berangkat naik bus Selamat Jalan. Bus yang selalu setia mengantar warga kampungku ke kota Kabanjahe. Selama lebih kurang 2 jam ia akan sampai di Kabanjahe. Setelah itu ayah akan melanjutkan perjalanan ke Medan. Kabanjahe – Medan juga biasanya ditempuh dalam waktu 2 jam. Besok Bapa baru akan diberangkatkan dari Bandara Polonia, Medan. Karena itu, hari ini ia berangkat ke Medan dan nanti malam akan menginap di Asrama Haji.

Bus itu mengangkut banyak penumpang. Mereka yang ingin ke Kota juga harus menumpangi bus ini. Termasuk anak-anak SMP yang mau sekolah. Biasanya penumpang yang jauh duduk di bagian depan. Anak-anak SMP yang putri diisi dari bangku belakang sedangkan yang anak-anak putra merayap di atas atap bis. Bis ini memiliki tujuh bangku yang berjajar ke belakang, dan setiap bangku hanya mampu menampung 5 orang. Kali ini bis cukup padat dan Bapa duduk di bangku ke dua dari depan, pas di belakang pak sopir.

Te… Teeeet… Klakson bis berbunyi menandakan bis akan berangkat.

Majo… Pirrr…!!!” Tak lupa kernet menyahut dengan suara keras di belakang. Bis melaju pelan. Barangkali masih ada penumpang yang terlambat karena kalau terlambat maka mereka harus jalan kaki ke Kutabuluh, desa setelah desa kami, selama lebih kurang 1 jam. Tidak akan ada lagi bis setelah ini kecuali menunggu besok lagi.

Selamat jalan, Bapa”, sambil aku melambaikan tangan ke arah bis. Pelan tapi pasti, bis beranjak menghilang dengan sendirinya.

Aku bersedih sekarang tinggal aku sama Nande. Kami kembali ke rumah. Mama, mami, bibi sama kila juga beranjak dari tempat kami mengantar Bapa. Mereka berkumpul sejenak di rumahku untuk menghibur kami sebelum kembali ke rumah masing-masing.

Dari jendela rumah, kutatap semua pemandangan desa kami yang begitu indah ditambah udara sejuk membuat hatiku yang sedikit gundah menjadi sedikit lebih tenteram. Rumah-rumah berkumpul bagai rumpun bambu yang tidak terpisah antara satu rumah dengan rumah yang lain. Hanya gang-gang kecil yang memisahkan. Desaku memang unik. Tanahnya berbukit-bukit, tidak datar. Dan rumahku berada pada tempat yang agak tinggi sehingga bebas memandang ke berbagai arah. Pegunungan bukit barisan mengelilingi desa kami, semua terlihat hijau termasuk gunung Sinambung yang masih terlihat jelas dari desa kami.

Pagi ini mendung. Kabut-kabut turut menyelimuti desa. Subhanallah, betapa sempurna ciptaan Allah ini. Tapi sayang di sini belum ada dakwah Islam. Aku sendiri hanya belajar Agama di bangku sekolah dasar dan SMP selama dua jam dalam satu pekan. Di samping itu aku belajar membaca al-Qur’an dari Bapa. Tanah yang subur, pemandangan yang indah, masyarakat yang akur karena diatur oleh sistem adat yang baik tetap terasa hampa kalau dakwah Islam belum ada. Berharap suatu saat akan ada sesosok seperti Haji Sulaiman, orang yang pertama sekali mengembangkan dakwah Islam di Tanah Karo. Tapi sayang, dia belum pernah sampai ke desa kami karena desa yang masih alami ini letaknya jauh di pedalaman. Semoga setelah Bapa kembali nanti, ia akan seperti Haji Sulaiman.

Sarooooooiiiii!!!”

Suara itu membangunkanku dari lamunan. Terlihat beberapa anak SMP dengan pakaian yang kotor berlarian ke sana dan ke mari mencari warga yang belum berangkat ke ladang mereka. Aku langsung turun dari rumah mencari tahu apa yang sedang terjadi. Aku panik, sesuatu mengagetkan batinku. Terasa sesak seakan memberi isyarat kalau telah terjadi sesuatu.

Bis Selamat Jalan megulang di Lau Cekala”, dengan nafas yang hampir putus, Andi, teman sekelasku di SMP memberikan informasi kepadaku. Ia tahu kalau ayahku ada di sana.

“Allahu Akbar. Bapa?”

Aku berlari kencang ke Lau Cekala. Seperti berada di atas angin menuju tempat kejadian, berharap tidak terjadi apa-apa pada Bapa. Lau Cekala, kali kecil yang berada di antara desa kami dan desa Kutabuluh. Di sana tanahnya memang terkenal labil dan licin karena air kali yang merembes ke jalanan. Payau-payau kecil itu membuat tanah lembab ditambah lagi dengan gerimis tadi malam. Mungkin bisnya guling karena itu.

Terlihat juga beberapa orang berlarian menuju Lau Cekala. Selain dengan jalan kaki ada juga yang pergi dengan motor. Dalam pelarianku, tiba-tiba kila datang dari belakang dengan motor butut CB 100-nya. Sejenak aku bisa bertahmid mengucap Alhamdulillah. Harusnya aku berlari selama sekitar setengah jam, akhirnya aku bisa tempuh hanya dengan beberapa menit. Tapi. Hatiku masih berdegup kencang, berharap tidak terjadi apa-apa pada Bapa. Bibirku selalu bergerak menyebut nama “Bapa”. Aku cemas. Tak terasa air mataku menetes.

Allahu Akbar!”

Setiba di Lau Cekala kulihat posisi Selamat Jalan sudah berada Jauh di bawah sana, entah berapa kali tadi bis itu berguling-guling. Tebing itu, cukup tinggi. Hanya mereka yang berada di atas atap bis yang mampu melompat menyelamatkan diri. Sedangkan yang di dalamnya?… Bapa tadi berada di bangku ke dua. Entah bagaimana sekarang keadaan mereka.

Aku susuri tebing itu. Duri-duri yang menusuk kulitku sudah tidak terasa lagi. Aku kehilangan arah. Tanpa pikir panjang, ranting-ranting yang menghadang kuterjang semuanya. Langkahku semakin tidak terarah. Hanya mataku yang menuju ke arah bis berharap akan ada keajaiban di sana.

Allahu Akbar. Inna lillahi wa inna ilai raji’un”. Terlihat semuanya sudah terbaring. Entah pingsan entah meninggal. Aku tidak menghiraukan mereka. Yang kucari hanya sesosok yang selama ini telah merawat dan membesarkanku, Bapa.

Bapa?” Di mana ia? Aku hampir tidak mengenalinya. Kepalanya berlumuran darah akibat pecahan kaca bis. Aku tarik keluar. Semua kaca Bis telah pecah. Ayah terbaring kaku. Aku coba berikan nafas buatan melalui mulut. Tapi. Ia tidak bergerak. Kutekan-tekan dadanya. Hasilnya? Nihil. Kupegangi urat nadi tangannya. Ia dingin.

Inna lillahi wa Inna Ilahi Raji’un.” Aku menangis sedu memeluk Bapa.

Orang-orang sudah berkerumunan di sekitar bis. Ternyata semua penumpang yang ada di dalam meninggal dunia. Dua mobil Ambulance kecamatan ditambah beberapa mobil pick-up datang mengangkut mayat-mayat segera dievakuasi di Puskesmas kecamatan sebelum dibawa pulang ke desa untuk dimakamkan.

Aku meminta kepada ibu agar ayah dimakamkan hari ini juga. Ia menyampaikan pesanku kepada senak keluarga agar Bapa dikebumikan hari ini. Untuk prosesi adat bisa menyusul. Kasihan Bapa kalau harus disemayamkan berhari-hari di rumah hanya karena menunggu famili yang jauh. Sanak keluarga kelihatan setuju karena walaupun masih banyak yang belum masuk Islam tapi mereka mengerti kalau mayat orang Islam itu tidak boleh dibiarkan berhari-hari di rumah menunggu dikebumikan. Lebih cepat lebih baik.

Setelah shalat Zhuruh, Aku memandikan Ayah bersama kila dan Pak Praten, guru agamaku di sekolah. Aku meminta agar Bapa segera dikebumikan sebagaimana orang islam pada umumnya, tanpa menunggu berhari-hari di rumah. Kemudian Bapa dimandikan dan dibawa ke pemakaman untuk di kubur. Banyak warga yang mengarak ayah ke pemakaman, termasuk keluarga yang beragama Kristen.

Kini Bapa telah dikubur. Tapi air mataku terus mengalir. Aku menangis bukan karena ditinggal Bapa. Tapi. Aku bersedih karena harapan mulia yang ia cita-citakan belum sempat ditunaikan hingga ia benar-benar haji menemui Allah ke rumah-Nya yang sesungguhnya. Bukan hanya ke-Ka’bah, Baitullah di Mekkah, tapi ke alam barzakh sebelum dibangkitkan menuju alam-alam yang lain hingga akhirnya akan bisa bertemu dengan Allah di surga nanti.

Aku hanya bisa berharap semoga ketika usiaku telah dewasa bisa menghajikan Bapa sebagai mewakili dirinya yang telah lebih dulu haji ke alam barzakh.

Kosa Kata:

Bapa (bahasa batak Karo) : ayah

Nande : ibu

Bibi : saudara perempuan ayah

Bengkila : suami bibi

Mama : saudara laki-laki ibu

Mami : istri Mama

King : singkatan dari Lingking:

sapaan untuk anak-anak di Tanah Karo

Majo : maju / berangkat

Saroi! : tolong!

Megulang : guling / terbalik

Kereta : istilah motor untuk orang Karo