Harapan Ananda

Oleh: Syah Azis Perangin Angin 

“Ma, kapan kita ke rumah Nini lagi?” Tanya Anisah kepada mamanya Revina yang sedang sarapan pagi bersama suaminya, Persadanta. Suara Anisah memecahkan kesunyian pagi di ruang makan ketika ia sedang sarapan pagi bersama mama dan papanya.

Sejenak Revina dan Persadanta berhenti dari kunyahan roti yang dicampur mentega itu di mulutnya. Sembari meneguk segelas susu, Revina menatap wajah anaknya yang masih duduk di kelas tiga SD itu dengan tatapan tajam. Anisah terdiam. Tatapan mamanya itu mengisyaratkan bahwa Anisah melakukan kesalahan. Anisah sadar akan kesalahannya itu. Mamanya sudah pernah melarangnya berbicara ketika sedang makan. Katanya tidak sopan.

Sepertinya Anisah sudah kangen dengan neneknya, Nini Biring (dalam bahasa Batak Karo berarti nenek yang bermarga Sembiring), ibu dari papanya, di desa. Padahal baru sebulan yang lalu mereka liburan di kampung. Tapi, sepertinya Anisah rindu mau ke kampung lagi, kangen berada di pangkuan neneknya tercinta.

Wajarlah, ketika berada di kampung neneknya, desa Laubuluh. Anisah sering diajak ke kebun oleh neneknya. Di sana ia bisa memetik buah-buahan sesuka hatinya. Kebun yang tidak seberapa luas itu dirawat dengan baik oleh sang nenek sehingga banyak tumbuhan dan buah-buahan yang ada di dalamnya. Ditambah lagi sayuran yang sangat disukai Anisah seperti daun singkong dan bayam.

Desa ini terletak di pedalaman dataran Tinggi Karo sekitar 70 kilometer dari Medan. Di kampung ini Anisah juga memiliki teman yang banyak serta ramah-ramah. Tidak seperti di kota yang serba individualis, yang mementingkan kepentingan sendiri.

Kalau di kampung, Anisah biasanya bermain dengan teman-teman sebayanya sepulang dari kebun di sekitar rumah neneknya. Anisah terlihat sangat senang ketika berada di desa bersama neneknya daripada bersama ibunya di kota.

Nini Biring, sapaan akrab nenek Anisah pun mencurahkan perhatian yang penuh kepada Anisah ketika Anisah berlibur di kampung. Dia memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Anisah mendapatkan pendidikan kemasyarakatan dan sopan santun di desa. Ketika Anisah melakukan kebaikan, Nini Biring memberinya apresiasi dan penghargaan walaupun sebatas memberikan pujian yang sederhana dan mengatakan bahwa yang ia lakukan adalah baik dan perlu dilakukan terus menerus. Sebaliknya, ketika Anisah melakukan perbuatan yang tidak baik bahkan sekedar membiarkan ada temannya yang menangis karena terjatuh, Nini Biring langsung memberinya nasihat agar tidak segan-segan memberi pertolongan kepada orang yang membutuhkan.

Betapa besar kasih sayang Nini Biring kepada cucunya yang ia cintai itu. Ia mengajarkan cinta dan kasih sayang, pelajaran yang tidak pernah didapatkan Anisah di sekolah.

Di sekolah ia hanya diajarkan penjumlahan atau pengurang, perkalian atau pembagian, benar atau salah. Sedangkan di rumah ia hanya diajarkan peraturan-peraturan yang membuat Anisah merasakan betapa sempit dunia ini, boleh ini boleh itu, tidak boleh begini tidak boleh begitu, jangan ini jangan itu, setelah ini kerjakan itu. Ia tak pernah mendapatkan pelajar kasih sayang bahkan dari keluarganya kecuali dari neneknya yang tinggal di kampung itu.

***

Tatapan lekat mamanya, membuat Anisah terdiam dan kembali melanjutkan menyantap roti yang ada di depannya dengan pelan-pelan. Roti yang begitu enak terasa pahit di lidahnya. Ia harus sembari meneguk susu agar roti itu bisa masuk ke lambungnya. Tatapannya kosong.

“Sudah jam setengah tujuh lho nak. Ayo sarapannya segera dihabiskan, nanti kamu terlambat”. Persadanta membuyarkan lamunan Anisah. Ia mengerti Anisah sedang memikirkan sesuatu hanya saja ia juga tidak tahu harus melakukan apa kecuali menghibur Anisah dengan kata dan sapa.

Sebentar lagi mereka akan berangkat untuk mengerjakan pekerjaan masing-masing. Anisah akan berangkat sekolah seperti biasanya. Ibunya seorang pengacara di sebuah lembaga konsultan hukum. Sedangkan ayahnya seorang kontraktor.

Anisah merupakan anak tunggal. Tapi orang tua mereka tidak punya waktu banyak buat mereka. Hanya malam hari mereka bisa berkumpul bersama keluarga. Kadang-kadang orang tua mereka pun datang ketika Anisah sudah tidur. Bahkan ketika hari Minggu Anisah harus sendirian di rumah karena kedua orang tua mereka sibuk dengan urusan masing-masing.

Untung di rumah ada Mak Ijah, pembantu mereka. Mak Ijah yang sering menghibur Anisah. Anisah bahkan lebih dekat dengan Mak Ijah dari pada orang tuanya sendiri. Mak Ijah yang selalu menemani hari-hari Anisah di Rumah. Mak Ijah berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari Anisah. Suatu anugerah buat Mak Ijah memiliki anak majikan yang tidak suka memaksakan kehendak. Karena beberapa nak orang kaya suka memaksa dan manja. Tapi Anisah tidak ia bahkan suka mengusahakan kebutuhannya tanpa harus nyuruh-nyuruh orang lain juga pembantu.

***

Pukul 7.30 wib. Anisah, Ayah, ibunya berangkat melaksanakan aktivitas masing-masing. Mereka naik mobil pribadi, Mobil Avanza milik Perdamaian. Di perjalanan ke sekolah Anisah hanya melamun menatap ke luar mobil melalu kaca mobil. Ia duduk di bangku ke dua di belakang ayah dan ibunya. Tidak tahu apa yang dipikirkannya. Tatapannya kosong seakan meratapi nasibnya, ia merasa orang tua mereka tidak peduli dan tidak perhatian kepadanya. Ia merasa orang tuanya lebih mementingkan pekerjaan daripada memperhatikan anak semata wayang mereka. “Yah, aku kangen sama Nini. Kapan kita ke kampung lagi?” Anisah mecoba periang bertanya kepada ayahnya berharap akan ada jawaban yang memuaskan.

“Nanti ya, Nak. Kalau kamu liburan semester lagi.” Sambil menyetir mobil, Persadanta menjawab dengan dingin.

Hati Anisah semakin galau. Libur semester masih lama. Baginya menunggu sampai enam bulan itu waktu yang sangat lama. Ingin rasanya ia berangkat sendiri kalau ada waktu senggang. Tapi tidak mungkin.

Ia tidak mau mengambil risiko. Bisa-bisa nanti Anisah malah kesasar tersesat di tengah jalan. Ia hanya bisa bersabar untuk melepas kerinduan kepada Nininya.

Di dalam batin Anisah bertanya, kenapa kerinduanku kepada Nini Biring seakan-akan lebih kuat daripada kerinduan orang tuaku kepadanya? Padahal Nini Biring orang tua kandung Ayahku dan mertua Ibuku. Seharusnya mereka lebih rindu bertemu dengan Nini biring karena dialah orang tuanya yang telah membesarkannya hingga kini menjadi orang hebat. Bagiku Ayah dan Ibu adalah orang terhebat sedunia karena mereka yang telah membesarkanku.

Lima belas menit di dalam mobil tidak terasa. Sekarang ia sudah berada di depan sekolah. Di Gapura sekolah tertulis dengan jelas nama Sekolah. “SD HARAPAN BUNDA”. Dari namanya sudah terasa aura bahwa harapan itu masih ada. Harapan para orang tua agar anaknya bisa berbakti kepada mereka dan berguna bagi nusa dan bangsa.

Ia akan beraktivitas seperti hari-hari biasa. Bermain bersama teman sekolah dengan penuh kegembiraan. Sekali-kali ia bermanja-manja dengan gurunya yang penuh perhatian itu. Anisah terkenal anak yang paling baik di Sekolah semua orang senang berteman dengan Anisah termasuk guru-gurunya karena Anisah juga ramah di sekolah. Bisa bergaul dengan siapa saja. Satu hari saja Anisah tidak masuk sekolah, teman dan gurunya akan bertanya-tanya kenapa Anisah tidak masuk. Mereka akan merindukan Anisah.

Setelah mencium tangan orang tuanya sambil mengucapkan salam Anisah masuk ke lingkungan sekolah. Tapi pagi itu Anisah masih dirundung galau dan lamun. Ia harus berpuasa menahan kerinduannya kepada Nini Biring selama enam bulan. Tapi yang lebih membuat Anisah sediha adalah ia rindu belaian dan kasih sayang orang tuanya. Enatah sampai kapan. Ia tidak tahu. Ia membutuhkan perhatian orang tuanya. Ia cemburu karena orang tuanya lebih perhatian kepada pekerjaannya daripada kepada dirinya. Ia hanya berharapan kerinduan itu akan segera terobati. Itulah HARAPAN ANANDA. Harapan seorang anak terhadap orang tuanya

***

Syah Azis Perangin Angin adalah Guru SDIT Harapan Bunda yang masih berstatus mahasiswa di IAIN Walisongo Semarang. Penggiat sastra dan Aktif di Forum Lingkar Pena (FLP) Semarang.

Satu Tanggapan

  1. saya suka cerita ini, ini seperti kisahku..

Tinggalkan komentar