Lokalitas & Tradisionalitas*

Oleh: Benny Arnasa**

SUNGGUH menyedihkan, ketika membincangkan lokalitas dalam sastra, maka yang serta-merta terbersit dalam pikiran adalah karya yang bermuatan unsur kedaerahan; nama tempat, dialek, tradisi, mitos, hikayat, sejarah, dan kearifan lokal.

Lho? Bukankah hal-hal tersebut menjadi bahan utama sebuah karya yang mengusung lokalitas? Pun kalau salah, memangnya lokalitas dalam sastra itu apa?

Sejatinya, muatan kedaerahan sangatlah tidak salah untuk dikaitkan atau bahkan dimasukkan ke dalam kotak ‘lokalitas’. Hanya saja, semua itu tak dapat langsung dijadikan sebagai penanda tunggal untuk definisi lokalitas. Muatan kedaerahan cenderung mengerucut pada sebuah lingkup yang bernama tradisionalitas. Tradisionalitas inilah yang kerap salah dipersepsikan. Tradisionalitas kerap dianggap sama dengan lokalitas. Padahal tradisionalitas hanya bagian atau varian dari lokalitas.

Melanie Budianta memberi batasan ‘lokalitas’ sebagai sesuatu yang partikular (yang tertentu). Agus R. Sarjono melihat ‘lokalitas’ sebagai penajaman perspektif. Lebih jauh ia menyatakan bahwa menjadi lokal, tak lain dan tak bukan, menjadi pribumi untuk tema-tema yang diangkat. Raudal Tanjung Banua menyatakan bahwa ‘lokalitas’ adalah ‘iman’ estetik dan tematik yang dikukuhi. Raudal lebih menyoroti bagaimana kemampuan para pengarang mengeksplorasi tema dengan baik, dalam, kuat, dan memberikan ‘taste’ tersendiri terhadap karyanya.

Ya, menjadi lokal adalah menyelami tema-tema sastra dengan sepenuh hati. Mencintai apa-apa yang ia karang dengan mesra. Hingga akhirnya, selain meng-upgrade kemampuan pembaca dalam memaknai cerita, juga melahirkan keintiman psikologis dengan pembaca. Maka, lokalitas dalam sastra adalah bagai menyaksikan taman bunga yang harum. Harum yang partikular. Ada aroma mawar, melati, anyelir, atau wangi bunga yang lain. Maka, adalah sangat menarik, berkenaan dengan buku “Orang-orang Bloomington”-nya, Budi Darma mencuatkan istilah “lokalitas Orang-orang

Bloomington”. Maka, dengan semua keberhasilannya, Ahmad Tohari dapatlah dikatakan menyerusi lokalitas-desa; pada beberapa karyanya Habiburahman cenderung pada lokalitas-Mesir atau lokalitas-pesantren, Helvy Tiana Rosa dengan lokalitas-profetik, Rag Di F. Daye dengan lokalitas-Minangkabau, Hamsad Rangkuti dengan loklaitas-urban, dalam kumpulan cerpen

Kali Mati, Joni Ariadinata tampak setia pada lokalitas-gelandangan, dll.

DALAM perkembangannya, ‘lokalitas dengan variannya’ tak dapat secara otomatis disematkan pada pengarang. Ini bukan perkara inkonsistensi, namun lebih pada keinginan untuk melakukan ekplorasi. Baik itu ekplorasi tema, maupun gaya garapan. Namun begitu, pada pengarang-pengarang yang sudah kuat dan mapan kemampuan kesusastraannya, tema apa pun yang mereka garap, dapat kita kenali jejaknya. Hal inilah, menurut saya, yang dikatakan Raudal Tanjung Banua sebagai ‘iman estetik’. Pengarang yang sudah ber-‘iman’ niscaya akan melahirkan karya-karya yang memiliki kekuatan estetik, atau bahasa popularnya ciri khas. Pengarang yang sudah memiliki ciri khas dalam teknik garapan akan jauh lebih muda menghasilkan karya-karya yang memiliki kecenderungan lokalitas. Karya-karyanya mampu menghadirkan kedekatan psikologis dengan pembaca. Hasan al Banna, Joni Ariadinata, dan Habiburrahman el Shirazy—sekadar menyebut beberapa contoh—adalah pengarang-pengarang yang telah berada dalam taraf itu.

Ada beberapa persepsi tentang lokalitas yang rasanya perlu untuk ditinjau kembali.

Pertama, selama ini lokalitas ‘kadung’ melekat pada simbol-simbol kedaerahan. Ketika ada cerita-cerita yang mampu menggunakan dan atau menggali nama tempat, dialek, tradisi, mitos, hikayat, sejarah, dan kearifan lokal, maka ia akan terkodifikasi ke dalam ranah lokalitas. Padahal, belum tentu karya-karya yang memakai simbol/unsur kedaerahan tadi mampu mengeksplorasi unsur-unsur cerita dengan optimal. Inilah yang menyebabkan ‘lokalitas’ yang dipersepsikan pada karya tersebut tak lebih sebagai tempelan semata. Artinya, menggarap tema-tema daerah, tidaklah otomatis membuat karya tersebut disebuat sebagai karya—yang mengandung unsur—lokalitas.

Kedua, lokalitas kerap disamakan dengan tradisionalitas. Ketika karya sastra mengangkat budaya lokal, perihal kearifan lokal, hikayat, mitos, dan sejenisnya, maka dengan ‘semena-mena’ karya tersebut dilabeli lokalitas. Karya-karya yang mampu mengeksplorasi aspek tradisi(onal?) dengan baik tentulah dapat dikatakan sebagai karya lokalitas, lokalitas-daerah. Namun, yang perlu dicermati adalah, karya-karya yang mengangkat tradisi(onal?) belum tentu mampu tampil dengan baik, belum tentu menampilkan ke-daerah-annya dengan baik, belum tentu mampu menampilkan lokalitas, belum tentu adalah karya lokalitas! Artinya, tradisionalitas adalah lokalitas, namun lokalitas tidak melulu tentang tradisionalitas. Lokalitas tidak sama dengan tradisionalitas karena tradisionalitas hanya salah satu bidang eksplorasinya saja.

Ketiga, tradisionalitas (yang kerapkali disebut lokalitas) dalam sastra kerapkali dikatakan sebagai karya yang mengangkat kearifan lokal. Padahal, faktanya, karya-karya tradisionalitas justru menampilkan betapa TIDAK ARIF-nya tradisionalitas/lokalitas yang ada di daerah mereka. Beberapa contoh adalah;  Novia Syahidah memaparkan kejawen sebagai tradisi yang bertentangan dengan ajaran agama (Islam) dalam Putri Kejawen, Raudal Tanjung Banua memaparkan bahwa perempuan yang meninggal dunia karena jatuh dari pohon adalah sebuah ketidakarifan dalam Perempuan yang Jatuh dari Pohon, atau Khrisna Pabicahara yang membeberkan kepada publik bahwa orang tua-orang tua di Makasar yang menerima pinangan terhadap anak gadisnya atas dasar besar/kecilnya jumlah mas kawin yang ditawarkan pihak pelamar (lelaki) adalah sebuah penghinaaan atas perempuan sendiri dalam Silariang….

HAL lain yang perlu ditelisik adalah, tradisionalitas (atau lokalitas) seolah selalu tak habis-habisnya untuk dijadikan bahan cerita dalam kesusastraan Tanah Air. Hal ini tak dapat dilepaskan oleh faktor geografi dan budaya Indonesia. Dengan ribuan pulau, ratusan suku bangsa, bahasa, dan perbedaan budaya, sangatlah wajar bila tradisionalitas selalu up date, selalu menarik untuk diketengahkan dalam karangan.

Dalam sebuah perbincangan tentang lokalitas oleh Komunitas Meja Budaya di Pusat Pendokumentasian Sastra (PDS) HB Jassin, November 2010, Zen Hae menyatakan bahwa unsur-unsur kedaerahan yang menyusup (bahkan mewarnai) sebagian karya-karya lokal, membuat bingung; menimbulkan pertanyaan: ini sastra Indonesia atau sastra daerah? Lalu, untuk apa lokalitas (tradisionalitas) ditulis/dijadikan unsur cerita apabila citarasa lokalnya akan serta-merta hilang bila diterjemahkan ke dalam bahasa asing (Inggris).

Sekilas, pernyataan Zen Hae terdengar sangat masuk akal. Namun begitu, harus dikembalikan lagi pada geo-kultur Indonesia sendiri. Dengan ke-bhineka-annya, maka sastra-daerah adalah refleksi adalah sastra Indonesia itu sendiri. Beragamnya nuansa kedaerahan yang muncul dalam karya sastra menunjukkan betapa bergeliatnya sastra Tanah Air. Betapa penggiat sastra negeri ini memiliki milintasi untuk menampilkan otentitasnya, menampilkan identitasnya yang murni, paling tidak dari tema-tema genuine (asli daerah) yang mungkin saja hanya terdapat di daerah mereka. Misalnya, uang jumputan di Minangkabau, warahan di Lampung, senjang di Sumatera Selatan, atau pemakaian koteka bagi lelaki di Papua.

Bagaimana dengan alih-bahasa yang memungkinkan hilangnya rasa lokal pada karya lokalitas-tradisionalitas. Tentang ini, tak sepenuhnya dapat diiyakan. Beberapa karya Garcia-Marquez yang dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, masih terasa America Latinnya, atau masih terasa realisme-magisnya; atau karya-karya Akutagawa Ryunosuke ketika dialihabahasakan ke bahasa Indonesia, masih terasa Jepang-nya. Artinya, sangat tergantung pada—kemampuan dan sensitivitas—penerjemahnya. Sejauh mana ia mampu mencari padanan kata yang mewakili rasa cerita yang diterjemahkan. Namun begitu, hal yang paling penting untuk disadari dengan saksama adalah, ke-Indonesia-an kita telah melahirkan keberagaman yang kaya, termasuk tardisionalitas di dalamnya. Belum lagi, kecenderungan pembaca yang menyukai hal-hal yang belum mereka ketahui (termasuk apa-apa yang terjadi di daerah lain), telah membuat tema tradisionalitas sejatinya masih begitu menarik untuk diangkat dan digali. Hal lain yang perlu ditambahkan adalah bila sebelum mengangkat tradisionalitas dalam karangan kita harus memikirkan “apakah rasa lokalnya masih akan ada atau hilang”, alangkah repotnya mengarang tradisionalitas itu!

KHATIMAH, mari kita menghasilkan karya yang berhasil menampilkan lokalitas. Jangan pernah ragu untuk mengangkat tradisionalitas sebagai bahan baku lokalitas cerita. Sejatinya masih begitu banyak unsur tradisionalitas yang belum digali dan ditunggu-tunggu pembaca. Untuk memberikan beragam warna pada sastra, agar mampu mencerahkan, cerah yang berwarna, warna yang indah….

***

Sleman, 04 Februari 2010

* Makalah Lokalitas dan Tradisionalitas disampaikan dalam Upgarding Nasional FLP di Wisma Eden, Sleman, Jogjakarta, Jumat, 4 Februari 2011

** Benny Arnas lahir di Lubuklinggau, 27 tahun yang lalu. Karyanya tersebar di media lokal, nasional, dan internasional. Meraih beberapa penghargaan sastra, di antaranya Anugerah Batanghari Sembilan (2009), Krakatau Award kategori Puisi (2009), dan Krakatau Award kategori Cerpen (2010). Ia juga diundang dalam even sastra internasional Ubud Writers & Readers Festival 2010. Buku terbarunya kumpulan cerpen Bulan Celurit Api (Koekoesan, 2010). Saat ini, ia bergiat di FLP Lubuklinggau. Hp. 081373534051

Wajib Belajar VS Hak Belajar

(Dimuat di Koran Sore Wawasan 14 Juli 2010)

Oleh: Nurfita Kusuma Dewi

PERAN strategis pendidikan dalam pembangunan bangsa dan negara beberapa tahun terakhir ini tampaknya memang telah menjadi sebuah kesadaran jamak dalam masyarakat Indonesia. Maka tidak heran, jika pemerintah dan masyarakat pun bekerja bersama-sama untuk terus memajukan dunia pendidikan. Salah satu langkah nyata yang dilakukan pemerintah dalam memperbaiki mutu pendidikan bangsa tercermin dalam slogan-slogan pendidikan yang dicanangkan. Mulai dari “Ayo Sekolah!”, “Wajib Belajar 9 Tahun”, bahkan di beberapa daerah ada yang mencanangkan “Wajib Belajar 12 Tahun”.

Slogan Wajib Belajar yang dicanangkan oleh pemerintah ini tentu sangat positif dan patut diapresiasi. Namun sayangnya, tidak banyak pihak yang menyadari bahwa ternyata slogan Wajib Belajar yang kini telah menjadi gerakan nasional ini justru bertolak belakang dengan Undang-undang Dasar 1945. Nah, bagaimana bisa? Slogan pendidikan yang sudah ada sejak Orde Baru hingga Era Reformasi saat ini ternyata justru tidak selaras dengan Undang-undang Dasar? Pasal 31 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 sama sekali tidak menyebutkan adanya kata Wajib Belajar. Pasal ini berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Tidak ada kata “wajib” dalam pasal tersebut. Justru kata “berhak” yang masih bertengger setia di sana walaupun Undang-undang Dasar tersebut telah beberapa kali diamandemen.

Kewajiban
Lucunya, slogan Wajib Belajar ini tetap saja dipakai dalam dunia pendidikan di Indonesia hingga tahun ajaran baru 2010 ini. Alih-alih diamandemen seperti Undang-undang Dasar, slogan ini justru berkloning menjadi kata-kata “wajib” yang lain. Mulai dari iuran wajib gedung sekolah, seragam wajib hari Jumat, buku pegangan wajib, studi wisata wajib, dan hal-hal wajib lainnya. Apa yang terjadi ketika hal-hal wajib itu tidak dapat dipenuhi oleh (orang tua) siswa? Tentu saja, kesempatan untuk tetap belajar dengan nyaman akan terganggu.

Contoh sederhana adalah tidak ditunaikannya kewajiban membeli buku pegangan. Sudah barang tentu, kesempatan siswa untuk belajar dengan nyaman akan terganggu. Usaha yang dapat ia lakukan pastilah dengan meminjam buku milik temannya. Dan itu berarti, ia sudah berani mengganggu kenyamanan belajar temannya yang lain karena mereka harus menggunakan satu buku untuk berdua.

Bagaimana jika siswa tersebut tidak mampu memenuhi kewajiban membeli seragam batik hari Jumat? Tentu saja perlakuannya akan berbeda dengan kasus buku di atas. Karena rasanya sangat mustahil jika siswa tidak mampu tersebut meminjam seragam batik milik temannya. Apalagi nekat satu seragam untuk berdua.

Tapi inilah realita. Kata orang Jawa, jer basuki mawa bea . Kalau menginginkan pendidikan yang bagus, maka lumrah jika (orang tua) siswa harus merogoh koceknya lebih dalam. Tapi batasan seberapa dalam kocek orang tua siswa harus dirogoh untuk sebuah hak pendidikan, tidak ada yang bisa memberikan jawaban.

Pamrih orang tua menyekolahkan anak-anak mereka cuma satu, menjadikan anak-anak mereka menjadi manusia cerdas demi masa depan yang lebih baik. Persoalan hal-hal wajib itu memiliki relevansi atau tidak dengan proses belajar mengajar, tidak ada yang peduli.

Apakah memakai seragam batik itu memiliki relevansi langsung dengan kenyamanan proses belajar mengajar atau tidak, siapa yang mau ambil pusing? Toh sejak UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organisation) menetapkan batik sebagai warisan budaya Indonesia pada 2 Oktober 2009 silam, tanggal tersebut sudah diperingati sebagai Hari Batik. Jadi apa salahnya jika seragam batik diwajibkan bagi siswa sekolah di hari-hari tertentu? Sekali lagi, toh tidak ada yang mau ambil pusing.

Pendidikan gratis

Namun faktanya, penggunaan slogan Wajib Belajar yang inkonstitusional terhadap UUD 1945 itu tidak berpengaruh dalam praktik pendidikan di Kabupaten Jembrana, Bali. Jembrana mencanangkan Wajib Belajar tanpa biaya tidak hanya berhenti di angka 9, melainkan 12 tahun. Di saat manusia lain sibuk berkontroversi dalam mengkaji penerapan pendidikan gratis, bupati Jembrana Prof drg I Gede Winasa justru telah berhasil merealisasikannya. Realisasi pendidikan gratis tidak lagi menunggu masyarakat Indonesia makmur terlebih dahulu.

Tapi justru prioritas anggaran pemerintah untuk pendidikan membawa masyarakat Indonesia memiliki kehidupan yang lebih makmur. Menurut Winasa, yang juga peraih penghargaan “Kepedulian dan Komitmen yang Tinggi terhadap Pembangunan Pendidikan” dari Menteri Pendidikan Nasional RI pada November 2005, kunci dari usaha mewujudkan pendidikan gratis yang merupakan hak masyarakat ada pada efisiensi anggaran yang disusun dengan perencanaan kemudian sikap disiplin.

Pendidikan gratis juga tidak berarti menggratiskan jasa para Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Jembrana untuk tahun 2003 sebesar Rp 232 miliar, Jembrana mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 34,27 persen. Alokasi anggaran ini mampu untuk membebaskan biaya pendidikan SD, SMP, SMA, gaji PNS, pembangunan gedung sekolah, beasiswa guru, peningkatan kesejahteraan guru, dan lain-lain.

Dari uraian wajib belajar dan hak belajar di atas, maka sudah saatnya masyarakat dan pemerintah mengkaji ulang sistem pendidikan yang ada. Pertama, slogan Wajib Belajar yang dicanangkan pemerintah seharusnya tidak berarti mengesahkan pungutan-punguntan wajib lain dalam penyelenggaraan pendidikan.

Karena sejatinya pendidikan dan belajar adalah hak setiap warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Kedua, evaluasi terhadap slogan Wajib belajar 9 Tahun yang sudah terselenggara. Program ini sukses karena melibatkan banyak elemen masyarakat, mulai dari pihak sekolah, perangkat desa, sampai media pemberitaan.

Namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah kewajiban belajar 9 tahun itu selaras dengan output yang dihasilkan? Benarbenar menjadi solusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara? Atau sekedar memenuhi standar indeks pembangunan manusia? Ketiga, proses belajar mengajar seharusnya bukan sebuah kewajiban semata. Kewajiban bagi anak usia sekolah, maupun kewajiban bagi seseorang yang berprofesi sebagai guru.

Menurut Edward T Hall, duduk diam di tempat terbatas adalah salah satu hukuman paling berat yang dapat dijatuhkan kepada manusia. Nah, di sinilah masyarakat, pihak sekolah, dan siswa seharusnya benar-benar mampu mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan negeri ini. Apakah sekolah telah menjadi tempat yang menyenangkan dan dirindu setiap hari?

Ataukah ruang kelas hanya sebuah penjara bagi sekawanan siswa maupun guru itu sendiri? Kembali menilik judul tulisan ini. Jadi, berdasarkan praktik pendidikan yang ada di negeri kita ini, slogan manakah yang seharusnya dipakai dunia pendidikan di Indonesia di masa kini? Hak Belajar, Wajib Belajar, ataukah sekadar Wajib Sekolah? f Nurfita Kusuma Dewi Pemerhati masalah pendidikan, tinggal di Semarang

Wabah Hipokrasi Intelektual

Oleh: Romiyati

terbit diharian solopos edisi 20 April 2010

“Membuat karya ilmiah tanpa harus pusing mencari referensi dan melakukan penelitian? Gampang! cari saja di google” . Kalimat tersebut mungkin pas untuk menggambarkan betapa mudahnya seseorang melakukan penjiplakan di era digital seperti sekarang. Mudahnya akses informasi dan terbastanya waktu yang dimiliki membuat sebagian kalangan dengan mudah mencuri property intelektual orang lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri. Ironis memang. pesatnya kemajuan IPTEK yang seharusnya mampu menjadi tonggak terbentuknya generasi yang bermartabat justru menjadi pencetak generasi hipokrat.

Kasus terkuaknya tindakan plagiat oleh seorang guru besar universitas Parahyangan beberapa waktu lalu barangkali bisa jadi semacam potret buram dunia pendidikan di Indonesia . Hal tersebut mencerminkan betapa praktek plagiat atau copy-paste juga bisa dilakukan oleh kalangan guru besar yang seharusnya berada di garda terdepan dalam memajukan pendidikan. Setelah terkuaknya kasus tersebut , bukan tidak mungkin ada juga kalangan dosen atau guru besar yang melakukan tindakan senada. Baik itu yang terungkap ke publik maupun yang hanya menjadi rahasia pribadi.

Dinegara manapun plagiarisme termasuk tindakan “kejahatan intelektual” yang dapat dikategorikan juga sebagai pencurian properti intelektual seseorang . Apalagi jika tindakan ini terjadi dalam dunia pendidikan yang tergolong sebagai ladang intelektual . Plagiarisme tak ubahnya tindak kriminal yang merugikan beberapa pihak dan turut mencemari keagungan wilayah akademis.Ironisnya, banyak kalangan civitas akademika terjebak dalam praktek kejahatan ini, entah itu dalam penulisan skripsi, tesis maupun makalah yang tidak lain merupakan menu wajib seorang akademisi. Sudah tak asing lagi cerita tentang mahasiswa yang menyewa jasa pembuatan skripsi atau karya ilmiah yang sudah barang tentu diragukan keabsahannya, ditambah lagi dengan mudahnya akses informasi sehingga seseorang dapat dengan mudah mengkopi-paste karya ilmiah tanpa menyebut sumbernya.

Alternatif Pragmatis

Berbicara mengenai plagiarisme tak bisa lepas dari faktor yang mendasarinya. Secara umum kalangan civitas akademika sangat memahami akan pentingnya menghargai dan memberikan pengakuan terhadap karya ataupun gagasan orang lain. Oleh karenanya, setiap kali mengutip atau menggunakan pendapat orang lain, menjadi keharusan untuk menyertakan nama dan karyanya. Alasannya jelas, bahwa karya dan gagasan yang diambil merupakan bentuk properti intelektual yang sangat berharga bagi penemu gagasan. Lalu kenapa praktik plagiarisme justru banyak menghinggapi kalangan civitas akademika ? Tak lain, karena dalam posisi sebagai civitas akademika, mahasiswa akan dibebani oleh banyak aturan dan tuntutan yang harus dipenuhi . Hal umum yang lazim dimengerti adalah tuntutan untuk memperoleh IPK tinggi dengan diiringi oleh tugas pembuatan karya ilmiah dan sebagainya. Dengan modal pengetahuan,referensi dan waktu yang terbatas , tak jarang mahasiswa menghalalkan segala cara. Salah satunya dengan melakukan penjiplakan. Disamping itu, menjamurnya teknologi yang memudahkan akses informasi juga berperan dominan dalam memudahkan aksi plagiarisme. Tanpa melalui proses berpikir panjang, seorang mahasiswa dapat begitu mudah mendapatkan berbagai jenis karya ilmiah dari internet. Alur selanjutnya bisa ditebak. Tulisan dicopy-paste, diedit seperlunya dan diganti dengan nama sendiri tanpa menyebutkan sumbernya. Dari yang penulis amati,hal seperti ini umum terjadi __kalau tidak mau dibilang “sudah tradisi”. Berawal dari sinilah budaya semacam ini seolah menjadi alternatif jitu untuk menunaikan tuntutan pendidikan terutama bagi mereka yang bermental pragmatis. Padahal, disadari atau tidak tindakan semacam ini tak lain merupakan ujung belalai dari merambahnya gurita penipuan dalam dunia pendidikan. Jika hal ini dibiarkan, bukan mustahil akan menjadi batu sandungan bagi perkembangan dunia pendidikan kita.

Indikasi Dekadensi Moral

Merebaknya tindakan plagiat menandakan adanya dekadensi moral dalam tubuh akademisi. Wilayah akademis yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran seolah telah ternoda dengan prinsip “cari enak” dari sebagian orang. Mental pragmatis dan jiwa hipokrit akademisi penganut budaya “cari enak” turut melegitimasi adanya alternatif tercela ini. Harga diri dunia pendidikanpun terabaikan demi ambisi pribadi. Tak perlu lagi peduli dengan prinsip-prinisp agung pendidikan, asal tugas terpenuhi dan gelar tercapai, tindakan tercelapun dapat dilakukan. Hasil akhir menjadi destinasi utama dibandingkan dengan proses dan kerja keras yang harus dijalani. Destinasi inilah yang kemudian memunculkan wabah-wabah dusta, penipuan, pemalsuan, dan kemunafikan intelektual diwilayah akademis .Wilayah yang seharusnya sarat dengan nilai pembelajaran dan kejujuran.

Plagiarisme memang bukan perkara baru. Namun, di Indonesia upaya untuk menangani perkara buruk ini agaknya tidak terlalu menampakkan keseriusan . Dibeberapa Negara maju, tindakan menjiplak karya orang lain dapat berdampak pada dikeluarkannya seorang murid dari sekolah atau universitas. Nampaknya hal ini perlu dicontoh oleh pemerintah Indonesia . Sejauh ini, belum ada pemanfaatan teknologi di Indonesia untuk mereduksi tindakan plagiat. Padahal dinegara lain banyak yang sudah mengembangkan piranti lunak untuk mendeteksi tindakan plagiat. Langkah semacam ini seharusnya perlu mendapat perhatian pemerintah, Karena sanksi akademis saja belum cukup untuk mengurangi plagiarisme. Selanjutnya, upaya yang tak kalah penting adalah memberikan pemahaman dan kesadaran akan buruknya plagiarisme kepada setiap civitas akademika. Penanaman kesadaran ini perlu digalakkan sejak dini. Jika kesadaran akan buruknya plagiarisme telah terbentuk oleh tiap individu, setidaknya dapat membuka jalan untuk memperbaiki moral dan martabat bangsa.

Tampilkan Sikap Elegan

Oleh: Romiyati

(terbit diharian wawasan : 9 Februari 1010)

Peran mahasiswa dalam mengantar dan mengawal gerakan reformasi tak bisa diragukan lagi. Sejarah mencatat, kekuatan besar dari berbagai elemen mahasiswa mampu menumbangkan penguasa orde baru yang telah berkuasa lebih dari tiga dasawarsa pada tahun 1998. Paska tumbangnya orde baru, genderang reformasi yang dimotori mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia mulai bergema. Sejak saat itu, eksistensi mahasiswa sebagai director of change seolah bangun dari tidur panjangnya. Mahasiswa dengan tekad dan idealisme yang menghujam mampu menjadi lokomotif reformasi demi mewujudkan mimpi Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat.

Heroisme mehasiswa pada masa itu, menjadi semacam legitimasi betapa kekuatan pemuda-pemuda terdidik mampu membawa perubahan signifikan dinegri yang tengah terpuruk dalam beragam krisis multidimensi. Mahasiswa menjelma menjadi kekuatan baru untuk melawan berbagai ketimpangan dalam tatanan sosial dan politik.

Jika dikorelasikan dengan masa sekarang, sesungguhnya peran tersebut masih tetap eksis. walaupun tidak seheroik pada masa pra runtuhnya orba, andil mahsiswa era sekarang tetap besar dalam memperbaiki tatanan sosial dan politik. Terbukti, ditengah karut-marut suasana pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II, mahasiswa tetap berada di garda terdepan dalam mengkritisi kinerja pemerintah .Ditandai dengan maraknya aksi demontrasi, mahasiswa tak hanya gembar-gembor dijalan, tapi juga memberi gagasan-gagasan cemerlang untuk pemerintah. Sayangnya pemerintah agaknya enggan beranjak untuk menggodok aspirasi mereka. Suara-suara kritis mahasiswa tak ubahnya angin lalu. Nyaris tak tertanggapi.

Tak hanya terkesan acuh tak acuh, akhir-akhir ini pemerintah malah menyayangkan berbagai aksi mahasiswa tersebut. Alih-alih menanggapi aspirasi mereka, pemerintah justru menyesalkan tindak demonstrasi mahasiswa yang terkesan anarkis. Padahal terlepas dari segala pro kontra mengenai aksi mahasiswa , sesungguhnya gagasan dan aspirasi yang mereka sampaikan menyimpan muatan yang cerdas, kritis dan membangun. Andai setiap aspirasi mereka mendapat tanggapan dan digodok di pemerintahan, bukankah tidak mustahil hal ini mampu menjadi solusi ditengah beragam problematika pemerintah?

Perlu Perubahan

Menanggapi fakta bahwa pada dasarnya pemerintah seolah cuek dengan aspirasi mereka, lantas pesimiskah mahasiswa?, Langkah apa lagi yang seharusnya ditempuh agar tuntutan mereka terpenuhi atau paling tidak didengar oleh pihak yang berwenang? Memang bukan persoalan mudah untuk mencari jalan tengah yang bijak, mengingat sedemikian peliknya persoalan bangsa ini. Namun, jika masing-masing pihak baik dari pemerintah maupun mahasiswa bisa menampilkan sikap yang elegan dan professional bukan mustahil akan sama-sama menemukan solusi jitu demi perubahan yang lebih baik.

Langkah awal mungkin bisa dimulai adalah dengan memperbaiki manajemen demonstrasi. Dari yang penulis tangkap selama ini, aksi demo mahasiswa memang terkesan anarkis dan kurang tertib. Semua orang tidak ada yang menyukai ketidaktertiban. Demikian halnya pemerintah. Berawal dari sinilah penyebab aspirasi mahasiswa tidak mendapat tanggapan. Andai dalam melakukan demonstrasi mahasiswa dapat bersikap lebih tertib dan elegan, pasti akan menimbulkan kesan baik dimasyarakat maupun pemerintah sehingga aspirasi yang mereka usungpun akan didengar.

Kedua, adalah dengan memusyawarahkan permasalahan yang ada , sehingga dari sini muncul solusi dan saran bagi pemerintah. Kemudian, dengan hasil musyawarah itu mahasiswa dapat mengirimkan beberapa delegasi untuk bertemu secara eksklusif dengan perwakilan pemerintah dalam waktu yang telah disepakati bersama. Dalam pertemuan tersebut delegasi mahasiswa dan perwakilan pemerintah mencoba berunding bersama atas permasalahan dan solusinya. Tanpa disertai kesan amarah dan teriakan yang meluap-luap kedua belah pihak dapat berunding dan berpikir jernih untuk mencapai solusi yang cerdas dan efektif.

Langkah terakhir yang tak kalah pentingnya adalah perubahan dari kalangan pemerintah. Pemerintah sebagai pihak yang paling berwenang dalam menanggapi aspirasi mahasiswa perlu melakukan perubahan. Jangan hanya duduk mendengar aspirasi mahasiswa distasiun TV kemudian memberi komentar atas aksi mahasiswa diberbagai media, tetapi pemerintah juga perlu mendengar secara langsung aspirasi mereka. Hal ini bisa diawali dengan menyediakan waktu untuk bertemu langsung dengan delegasi mahasiswa dan berdialog dengan mereka sehingga mahasiswapun akan merasa dihargai dan tidak diabaikan. Jika kedua belah mampu melakukan perubahan dan perbaikan dari sistem yang digunakan selama ini , setidaknya masih ada harapan untuk memecahkan problematika bangsa.

“Perjelas Pola Integrasi”

Oleh: Romiyati

(terbit diharian Suara merdeka: 9 Januari 2010)

Rencana tentang peintegarsian UN dan SNMPTN memang belum bisa terlaksana pada tahun 2010 mendatang. Akan tetapi kajian dan pro kontra mengenai usulan tersebut agaknya akan tetap menjadi topik hangat dalam dunia pendidikan kita. Banyak hal menarik yang perlu dikaji terkait usulan tersebut. Salah satunya adalah terkait pola integarsinya, apakah integrasi yang bersifat mutlak atau integarsi seperti yang disebutkan dalam UU sisdiknas, PP No. 19 tahun 2005.

Melihat fakta lapangan yang terjadi dalam pelaksanaan UN selama ini, usulan tersebut memang terkesan agak utopis. Pasalnya hampir setiap tahun pelaksanaan UN selalu diwarnai aneka tindak kecurangan baik dari pihak murid maupun sekolah. Jika hal ini tidak segera diatasi, akan menjadi batu sandungan bagi upaya pengintegrasian UN dan SNMPTN. Ditambah lagi terkait dengan tujuan UN dan SNMPTN yang jelas berbeda. UN bertujuan untuk mengevaluasi hasil belajar siswa sedangkan SNMPTN bertujuan sebagai seleksi terhadap calon mahasiswa terkait program studi yang dipilihnya.

Namun, jika dilihat dari pola integrasi seperti yang disebutkan dalam UU sisdiknas, PP No. 19 tahun 2005 , saya mendukung ide tersebut. Dalam PP tersebut menyebutkan bahwa hasil UN dapat dijadikan pertimbangan memasuki PTN dan PT tidak perlu lagi mengadakan seleksi dengan memuat materi-materi yang telah diujikan dalam UN. Dalam hal ini PT cukup mengadakan seleksi untuk bakat, minat dan psikotes calon mahasiswa. Menurut hemat saya, pola integrasi semacam ini menjadi hal yang patut dijalankan karena dapat mengakomodasi kedua tujuan yang berbeda antara UN dan SNMPTN. Hal ini bukan berarti menghapus SNMPTN sepenuhnya, hanya saja materinya yang berubah. Ujian SNMPTN kedepan sebaiknya fokus pada bakat dan minat calon mahasiswa bukan mengulang materi UN. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah faktor efesiensi. Materi SNMPTN selama ini cenderung mengulang materi yang telah diujikan dalam UN, sehingga hasil UN terkesan mubazhir karena toh hasil UN tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk memasuki PT. Dengan adanya pengintegrasian tersebut pelaksanaan UN menjadi lebih efisien.

Ringkas kata, perlu kejelasan pola integrasi terkait rencana tersebut. Jika polanya sesuai, diharapkan mampu menjadi terobosan jitu untuk membenahi sistem pendidikan kita yang masih karut-marut.

Bola Salju Century

Oleh: Romiyati

(terbit diharian seputar indonesia ,27 Januari 2010)

Ditengah karut-marut suasana pemerintahan kabinet Indonesia Bersatu II, kasus Bank Century agaknya akan terus menimbulkan ketegangan. Hampir setiap hari, kasus bailout yang menelan 6,7 triliun uang negara ini terus menjadi topik panas media massa . Masyarakat seakan terus dijejali oleh hiruk-pikuk yang tak jelas ujung pangkalnya. Beragam fakta yang bersumber dari berbagai subyek muncul ke publik dan menambah daftar ketidakpastian dalam menyelesaikan skandal keuangan terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia . Ibarat bola salju, kasus century terus menggelinding untuk mencari koordinat yang tepat. Namun ,sejalan dengan pencarian koordinat tersebut , kasus Bank Century semakin menggelinding, membesar, membahayakan dan menyeret berbagai pihak.

Masih segar dalam ingatan kita isu ketidakharmonisan hubungan menkeu Sri Mulyani dengan Abu Rizal Bakrie beberapa waktu lalu yang berujung pada kekawatiran akan lengsernya jabatan sang menkeu. Juga isu tentang pecahnya koalisi pro pemerintah yang sempat mengalihkan perhatian publik. Contoh-contoh sederhana tersebut merupakan suatu bukti nyata bahwa upaya penegakan hukum dalam kasus Bank Century agaknya masih jauh panggang dari api. Masyarakat tidak pernah tau sampai kapan masalah ini akan menunjukkan titik terang.

Status bank Century sebagai bank hasil merger yang bermasalah adalah rahasia umum. pertanyaan dasarnya adalah, apakah suntikan dana dari LPS untuk bank yang bermasalah ini sudah tepat? telah lama publik menunggu jawaban resmi atas pertanyaan ini. Namun sekali lagi fakta-fakta yang terkuak salama ini memang seakan-akan serba tidak pasti sehingga memunculkan bermacam pertanyaan-pertanyaan lain yang menambah panjang alur perdebatan . Ironisnya, perdebatan yang semula mengacu pada dampak ekonomi, terus melebar keranah yang cenderung politis hingga menyeret pos-pos penting sebagai kambing hitam.

Mereduksi Produktifitas

Tak dapat dipungkiri, sejatinya masyarakat sudah hampir muak dengan upaya penegakan hukum dalam kasus bank Century. Berbagai demonstrasi dan kecaman muncul agar pihak yang berwenang segera menuntaskan kasus ini. ada kesan seolah-olah pemerintah lebih mengedepankan kepentingan politik masing-masing daripada uapaya menegakkan hukum. Akibatnya, waktu dan energy yang telah lama terkuras seakan sia-sia belaka. Padahal kedepan, masalah yang harus dihadapi bangsa ini masih menggunung. Jika mau berbicara mengenai oportunity lost, tentu sudah tak terhitung lagi jumlahnya.

Sampai saat ini, kasus century masih menunggu penyelesaian baik diranah hukum maupun politik melalui pansus hak angket DPR . Kejelasan dan kepastian kasus tersebut masih menimbulkan pesimisme dan optimisme publik. Publik sudah terlalu jenuh dengan perdebatan yang berkepanjangan. Dilain pihak, upaya menegakkan hukum yang berkepanjangan ini, secara langusng berimbas pada produktifitas pemerintah. Tugas pemerintah dalam mengemban amanah rakyat seakan “jalan ditempat” tanpa ada perubahan yang berarti akibat begitu banyaknya waktu yang tersita untuk kasus Century. Terlepas dari segala macam kepentingan, rasanya tidak berlebihan jika pemerintah harus focus kembali pada tujuan awal pengungkapan kasus Century dengan memfokuskan pada permasalahan yang ada. Jika semua elemen yang berwenang dapat bekerja dengan berpikir sehat dan jujur, setidaknya harapan untuk menegakkan keadilan dinegri ini bukan sekedar utopia.

Pendidikan Moral Dalam Bias Globalisasi

oleh Romiyati

terbit di harian wawasan edisi 25 Agustus 09

Berbicara mengenai pendidikan moral tak bisa lepas dari kondisi Zaman yang terus berkembang. Sejarah historis kemerosotan pendidikan moral di Indonesia terkait erat dengan derasnya arus globalisasi. Era global telah menyeret Indonesia memasuki era kompetitif yang memaksa untuk mengejar ketertinggalannya dengan bangsa lain. Ironisnya, hal tersebut justru mengantarkan Indonesia menuju krisis multidimensi dalam berbagai sektor tak terkecuali sektor pendidikan.

Pendidikan pada era global ini cenderung mengedepankan aspek intelektual tanpa adanya penanaman nilai moral dan sikap kemanusiaan yang efektif. Proses pendidikanpun lebih bersifat sekedar “transfer ilmu” bukan pembentukan karakter. Akibatnya peran dan tujuan pendidikan yang notebene adalah salah satu cara untuk meningkatkan kualitas SDM serta proses pendewasaan sikap harus tereduksi menjadi media pencetak generasi kualitas “robot”.

Tak dapat dipungkiri globalisasi telah membawa dampak positif bagi kemajuan pendidikan di Indonesia namun disisi lain ia juga telah menggeser nilai-nilai luhur bangsa yang semula menjadi kelebihan dan ciri khas bangsa Indonesia. Dunia pendidikan saat ini sering menerima kritikan dari masyarakat akibat kurangnya kontrol terhadap peserta didik. Banyak pelajar terlibat kasus tawuran, penyalahgunaan obat terlarang, penyimpangan sexual dan berbagai tindakan kriminal lainnya. Selain itu budaya hedonis juga marak menghinggapi kaum pelajar. Kiblat mereka bukan lagi norma agama dan susila namun berganti menjadi televisi, tabloid remaja, internet dan berbagai jenis teknologi infromasi lainnya.

Tak ada yang salah dengan merebaknya media-media tersebut selama penggunaanya untuk hal-hal yang besifat positif, namun aktualisasinya ternyata masih jauh dari harapan. Sebagian kaum pelajar banyak yang memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk hal-hal yang bersifat negatif. Mereka cenderung mudah meniru apa yang ditampilkan media tanpa memperhatikan sesuai atau tidaknya dengan jati diri dan kultur sosial. Akibatnya munculah kemudian generasi-generasi plagiat dan individualis dengan moral minimalis. Hal inilah yang menjadi tantangan besar dunia pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan moral.

Perlu Reaktualisasi

Derasnya arus globalisasi adalah kenyataan yang tidak dapat dihindari namun bukan berarti tidak dapat difilter. Globalisasi seharusnya bisa menjadi wadah untuk mencetak manusia yang dewasa, kreatif, dan produktif bukan malah menjadi wadah perusak moral. Dalam hal ini pendidikan menjadi harapan utama untuk mengatasi kemersotan moral bangsa sebagai efek negatif globalisasi. Pertanyaanya adalah pendidikan yang bagaimanakah yang dapat menanggulangi krisis moral di negeri ini?

Dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional bab IX pasal 39 butir 2 menyebutkan bahwa isi kurikulum setiap jenis jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan pancasila, pendidikan agama, dan pendidikan kewarganegaraan. Jelas undang-undang ini menjadi dasar tentang keharusan mengaktualisasikan pendidikan agama dan moral dalam sistem pendidikan di Indonesia. Namun pada pelaksanaanya banyak kendala yang menghadang salah satunya adalah benturan globalisasi yang banyak menggeser arajan pokok pendidikan agama dan moral.

Ada beberapa strategi yang perlu dikembangkan untuk memantapkan pengajaran moral dalam pendidikan di Indonesia. Pertama, Menurut Abudin Nata dengan memantapkan pelaksanaan pendidikan agama karena nilai-nilai dan ajaran agama pada akhirnya ditujukan untuk membentuk moral yang baik.

Kedua, menerapkan pendidikan moral dimasyarakat. Seperti halnya pendidikan moral disekolah, masyarakatpun memiliki peranan penting dalam pembinaan moral anak didik. Masyarakat yang bermoral baik akan melahirkan generasi yang baik, sebaliknya masyarakat yang bermoral buruk akan melahirkan generasi yang rusak. Ketiga, merubah orientasi pengajaran moral disekolah yang semula bersifat subject matter oriented yakni fokus pada pengajaran moral dalam arti memahami dan menghafal sesuai kurikulum menjadi pengajaran moral yang berorientasi pada pengamalan, pembentukan karakter dan penumbuhan sikap kemanusiaan melalui pembiasaan hidup sesuai dengan norma agama dan sosial.

Pendidikan merupakan wadah untuk melahirkan SDM yang menguasai ilmu pengetahuan dan bermoral luhur. Krisis moral bisa menjadi bumerang jika tidak ditanggulangi secara efektif. Untuk menanggulanginya perlu upaya dan kerjasama yang efektif antara semua pihak baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Jika hal itu terwujud, setidaknya masih ada harapan untuk mewujudkan mimpi Indonesia menjadi bangsa yang maju dan bermartabat.

Dinamisator Pendewasaan Sikap Berpolitik

Oleh: Romiyati

terbit diharian wawasan edisi 15 Desember 2009

Perjuangan SBY untuk mempertahankan citra positifnya agaknya masih penuh batu sandungan yang tak segan membuatnya jatuh bangun. Setelah menang pilpres putaran kedua, banyak kalangan yang meragukan kredibilitas SBY sebagai pemimpin yang tegas. Hal ini bukan tanpa alasan, pasalnya pasca pelantinkan dirinya sebagai presiden, banyak kasus besar yang seakan lamban ditanganinya. Berawal dari kasus mafia peradilan hingga kriminalisasi KPK dan kasus terahir yang tak kalah hebohnya adalah kasus bank century.

Tak hanya dinilai lamban, SBY juga tak jarang memunculkan kontroversi publik dengan pidato-pidatonya yang penuh ambiguitas. Tak ayal citra positif SBY sebagai pemimpin karismatik, lambat laun tereduksi menjadi figur yang penuh keraguan. Menyingkapi hal ini, muncul kemudian berbagai wacana dan demonstrasi sebagai wujud krtitik terhadap sikap lambannya kepemimpinan SBY. Ironisnya, sejalan dengan derasnya arus kritik dan demonstrasi, SBY justru kembali memunculkan kontroversi dengan pidatonya dalam rangka menyambut hari korupsi beberapa waktu lalu. Dalam pidatonya ia mengungkapkan kecurigaan adanya “penunggang” dibalik demo anti korupsi. Namun, pada kenyataannya ungkapan itu tidaklah terbukti.

Tak ada yang salah dengan ekspresi kecurigaan tersebut. Menurut hemat penulis, hal itu tidak lain adalah sebagai bentuk kewaspadaan (antisipasi) mengingat masalah yang dihadapi negri ini sudah semakin pelik, sehingga tak menutup kemungkinan akan adanya sebagian kalangan yang memanfaatkan situasi pelik itu untuk mencapai tujuan pribadinya. Sejarah historis negri ini telah begitu banyak mencatat hal yang senada. Namun, sikap tersebut menjadi kurang arif manakala diumbar dalam bentuk pidato kenegaraan yang tak hanya disaksikan oleh anggota dewan namun juga masyarakat pada umumnya. Jika pada kenyataanya kecurigaan yang telah mencuat kepublik itu tidak terbukti, hal ini justru akan menjadi alat pemecah belah yang berpotensi memunculkan sikap saling curiga. Akibatnya, mimpi mewujudkan persatuan bangsa bisa menjadi sekedar utopia.

Dinamika kepemimpinan

Berbicara mengenai kepemimpinan, sudah menjadi hal yang mathum jika sikap seorang pemimpin tak selamanya sejalan dengan kemauan rakyat. Ada kalanya pemimpin harus bersikap waspada dan hati-hati dalam mengambil tindakan. Namun, hal ini bukan berarti menjadi alat legitimasi bagi seorang pemimpin untuk bertindak semaunya. Seorang pemimpin yang paripurna tercermin dalam ucapan dan tindakannya yang selalu menyatu dengan harapan rakyat. Ia akan terus berada di garda terdepan dalam mengupayakan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya tanpa takut ada yang “menjegal” ditengah jalan.

Seperti ungkapan Komaruddin Hidayat, jika seorang pemimpin jiwanya jujur, ikhlas, cinta rakyat dan mau belajar, rasanya tidak perlu khawatir akan jatuh dari jabatan atau dijatuhkan dari jabatannya. Tidak merasa berada dibawah hingga takut terinjak dan tidak pula merasa diketinggian sehingga takut jatuh. Ia akan menyatu dengan hati dan desah rakyatnya.

Sungguh menjadi hal sangat diharapkan, jika ungkapan tersebut diterapkan dalam jiwa kepemimpinan SBY saat ini. Korelasinya adalah bahwa berbagai kasus yang diikuti oleh berbagai demonstrasi dan kritik yang tertuju padanya, tidak lain merupakan dinamisator untuk mendewasakan dirinya. Tak perlu berjuang keras mengejar citra karena pada hakikatnya perjuangan yang siginfikan adalah bagaimana memenuhi harapan rakyat seperti yang dijanjikan pada masa kampanye dirinya dulu. Jika perjuangan itu terwujud , setidaknya rakyat akan tetap PD berkata “lanjutkan SBY” bukan malah sebaliknya “lepaskan SBY”.

Sekarang adalah saat yang tepat bagi SBY untuk merevitalisasi semangat dinamis kepemimpinannya yang pernah melahirkan kepercayaan besar dari rakyat. Saat ini bangsa indonesia tengah berada dalam kondisi sakit. Untuk mengobatinya perlu upaya yang progresif dan efisien. Kesembuhan dan masa depan bangsa ini banyak ditentukan oleh bagaimana pemimpinnya bersikap. Jika sikap pemimpinnya lemah ( lack of leadership ) dan ragu-ragu, akan menyebabkan indonesia terperangkap dalam kondisi pesakitan. Sebaliknya, jika pemimpinnya memiliki semangat dinamis dan integritas yang tinggi dalam mengembangkan sistem pemerintahan yang baik dan bersih ( good and clean), maka tidaklah mustahil untuk meraih mimpi Indonesia menjadi bangsa yang besar dan bermartabat.

Ringkas kata, terlalu besar ongkos yang harus dibayar bila seorang pemimpin terperangkap dalam sikap ragu. Sebab, segala jerih payah untuk mewujudkan mimpi bangsa selama ini menjadi sia-sia belaka. Oleh karena itu, bangkit dari keterpurukan dengan menanggalkan sikap ragu menjadi sebuah kemestian yang menjadi harapan besar bagi kemajuan bangsa ini.