Lomba Puisi & Lomba Cerpen Opera Cinta 2013

Deadline: 20 Januari 2013.
Hadiah:
Kreasi Cerpen Opera Cinta.
Terbaik I : Rp. 3.500.000,- Sertifikat + 1 Antologi Opera Cinta.
Terbaik II : Rp. 2.500.000,- Sertifikat + 1 Antologi Opera Cinta.
Terbaik III : Rp. 1.500.000,- Sertifikat + 1 Antologi Opera Cinta.
Terpopuler : Rp. 1.000.000,- Sertifikat + 1 Antologi Opera Cinta.
11 Cerpen Berkarakter : Rp. 100.000,- Sertifikat + 1 Antologi Opera Cinta.
Kreasi Puisi Opera Cinta.
Terbaik I : Rp. 2.00.000,- Sertifikat + 1 Antologi Opera Cinta.
Terbaik II : Rp. 1.250.000,- Sertifikat + 1 Antologi Opera Cinta.
Terbaik III : Rp. 750.000,- Sertifikat + 1 Antologi Opera Cinta.
Terpopuler : Rp. 500.000,- Sertifikat + 1 Antologi Opera Cinta.
26 Puisi Berkarakter : Sertifikat + 1 Antologi Opera Cintat.
Persyaratan Umum Lomba Puisi dan Cerpen Opera Cinta 2013.

Peserta adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dengan batasan usia maksimal 30 tahun.
Naskah ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta memenuhi kaidah EYD, gunakan glosarium jika perlu.
Naskah wajib karya asli (sebagian atau seluruhnya), juga bukan terjemahan atau saduran serta tidak mengandung unsur sara, dan melanggar perundang-undangan yang berkaku.
Dibuktikan dengan penyertaan surat pernyataan dan formulir pendaftaran. (formulir dapat di download disini).
Naskah belum pernah dipublikasikan di media cetak, elektronik dan online serta tidak sedang diikutsertakan lomba lain.
Tema “CINTA” dengan subtema bebas, seperti; Cinta Negara, Cinta Keluarga, Cinta Sahabat, dll.
Peserta hanya boleh mengirim maksimal 5 naskah terbaiknya baik kategori puisi maupun cerpen.
Hak untuk mempublikasikan naskah penulis di media online sepenuhnya oleh CV. Terbit Media dan berhak mengganti judul serta menyunting naskah tanpa mengubah isi.
Keputusan juri mengikat, tidak dapat diganggu gugat, dan peserta tidak diperbolehkan adanya surat menyurat.
Lomba ini tertutup untuk karyawan CV. Terbit Media, dan keluarga dewan juri terkait.
Naskah dikirim via email ke: operacinta@terbit.org dan cc ke: kas@terbit.org

Syarat Khusus Lomba Cerpen Opera Cinta.

Diketik rapi dengan komputer formar microsoft word, ukuran kertas A4 dengan margin/garis tepi semua sisi 3 cm/1,18 inchi. Font Arial ukuran 12 (untuk judul dipertebal/bold). Panjang naskah 6 – 12 halaman.
Naskah dilampiri formulir asli penulis dan surat pernyataan yang sebelumnya sudah di download.
Peserta dikenakan biaya pendaftaran per-naskah (1 naskah) Rp. 20.000,- ditransfer melalui nomor rekening BCA 19.2008.9697 a.n. Andika Faris.
Konfirmasi pendaftaran (jika sudah melakukan transfer pendaftaran) via sms ke nomor 0838 5307 5757 dengan format: nama rekening pengirim#3 digit terakhir nomor rekening#kategori lomba#nama penulis. Contoh: Crisyanto Arifin#818#Cerpen#Ringgo Kribo.
Naskah diterima panitia paling lambat tanggal 20 Januari 2013 jam 16.00 WIB.
Dalam pengiriman naskah lomba, harap perhatikan ketentuan berikut:

Email berisi 2 lampiran/attachement, diantaranya; 1. Formulir pendafaran dan surat pernyataan bebas plagiat (Download: terbit.org/wp-content/uploads/2012/12/Formulir-Lomba-Puisi-dan-Cerpen-Opera-Cinta-2013.doc ). 2. Naskah Cerpen.
Pada judul email diisi dengan format: Kategori Lomba – Nama Penulis. Contoh: Cerpen – Ringgo Kribo.
Pada bagian isi email diisi dengan judul naskah cerpen.
Dikirim ke operacinta@terbit.org dan cc ke kas@terbit.org

Syarat Khusus Lomba Puisi Opera Cinta.

Diketik rapi dengan komputer ukuran kertas A4 dengan margin/garis tepi semua sisi 3 cm/1,18 inchi. Font Arial ukuran 12. Panjang naskah 1 – 3 halaman.
Naskah puisi dilampiri formulir asli penulis dan surat pernyataan yang sebelumnya sudah di download.
Peserta dikenakan biaya pendaftaran per-naskah (1 naskah) Rp. 10.000,- ditransfer ke nomor rekening BCA 19.2008.9697 a.n. Andika Faris.
Konfirmasi pendaftaran (jika sudah melakukan transfer pendaftaran) via sms ke nomor 0838 5307 5757 dengan format: nama rekening pengirim#3 digit terakhir nomor rekening#kategori lomba#nama penulis. Contoh: Crisyanto Arifin#818#Puisi#Ringgo Kribo.
Naskah diterima panitia paling lambat tanggal 20 Januari 2013 jam 16.00 WIB.
Dalam pengiriman naskah lomba, harap perhatikan ketentuan berikut:

Email berisi 2 lampiran/attachement, diantaranya; 1. Formulir pendafaran dan surat pernyataan bebas plagiat (Download: terbit.org/wp-content/uploads/2012/12/Formulir-Lomba-Puisi-dan-Cerpen-Opera-Cinta-2013.doc ). 2. Naskah Puisi.
Pada judul email diisi dengan format: Kategori Lomba – Nama Penulis. Contoh: Puisi – Ringgo Kribo.
Pada bagian isi email diisi dengan judul naskah puisi.
Dikirim ke operacinta@terbit.org dan cc ke kas@terbit.org

Sistematika Penilaian:

Orisinalitas dan keunikan judul – 15%.
Kreativitas pemilihan kata/diksi – 20%.
Estetis dan komersialitas naskah – 30%.
Ketajaman ide dan pesan – 35%
Kelengkapan syarat dan ketentuan – dinyatakan diskualifikasi apabila adanya ketidak-lengkapan dan pelanggaran atas ketentuan yang berlaku.

DOWNLOAD FORMULIR DAN SURAT PERNYATAAN (Klik disini: terbit.org/wp-content/uploads/2012/12/Formulir-Lomba-Puisi-dan-Cerpen-Opera-Cinta-2013.doc ).
Website: http://www.terbit.org
Twitter: @TerbitMedia
Facebook: Terbit Organizer
Kontak Informasi.
Email: diandra@terbit.org atau shelda@terbit.org
SMS: 0838 5307 5757
(*) Panitia tidak akan menjawab pertanyaan yang sudah ada pada syarat dan ketentuan.opera

Lomba omba Penulisan Puisi Jogja II Tahun 2012 / 2013 Tentang Cinta dan Kemanusiaan

omba Penulisan Puisi Jogja II Tahun 2012 / 2013 Tentang Cinta dan Kemanusiaan

Promo Buku Sekolah Kolong Langit

Promo Buku Sekolah Kolong langit hanya Rp 30.000,-

Bagi yang sudah baca / beli Antologi Cerpen Sekolah Kolong Langit, Flp Ngaliyan Semarang, Mohon Komentar, Kritik dan Saran. bagi yang belum, bisa pesan di kami dan kasih komentarnya.. Jazakumullah…

“Jalan meraih mimpi memang tidak pernah mudah. Akan selalu ada onak dan duri yang menghalangi. Namun semangat, harapan, kerja keras, dan doa akan bisa mengatasi itu semua. Buku ini menulis tentang itu semua, sebagian ceritanya begitu menyentuh dan layak diapresiasi.”
– -Habiburrahman El Shirazy
Novelis, Sarjana Al Azhar University, Cairo, Mesir
Penulis Novel Fenomenal Ayat Ayat Cinta- –

Baca lebih lanjut

Lomba Novel Republika 2011

Lomba Novel Republika 2011

Download Brosur

Download Formulir

Sumber Asli

Launching dan Bedah Buku SKL

HADIRILAH… HALAQOH AKBAR Launching dan Bedah Buku “Sekolah Kolong Langit” Forum Lingkar Pena (FLP) Ngaliyan Bersama : Sulaiman al-Kumayi, Hari Jumat, 24 Juni 2011 Pukul 13:00 WIB di Taman Tarbiyah Kampus II IAIN Walisongo, Ngaliyan Semarang. FREE. SKK. SNACK. DOOR PRICE.


Harapan Ananda

Oleh: Syah Azis Perangin Angin 

“Ma, kapan kita ke rumah Nini lagi?” Tanya Anisah kepada mamanya Revina yang sedang sarapan pagi bersama suaminya, Persadanta. Suara Anisah memecahkan kesunyian pagi di ruang makan ketika ia sedang sarapan pagi bersama mama dan papanya.

Sejenak Revina dan Persadanta berhenti dari kunyahan roti yang dicampur mentega itu di mulutnya. Sembari meneguk segelas susu, Revina menatap wajah anaknya yang masih duduk di kelas tiga SD itu dengan tatapan tajam. Anisah terdiam. Tatapan mamanya itu mengisyaratkan bahwa Anisah melakukan kesalahan. Anisah sadar akan kesalahannya itu. Mamanya sudah pernah melarangnya berbicara ketika sedang makan. Katanya tidak sopan.

Sepertinya Anisah sudah kangen dengan neneknya, Nini Biring (dalam bahasa Batak Karo berarti nenek yang bermarga Sembiring), ibu dari papanya, di desa. Padahal baru sebulan yang lalu mereka liburan di kampung. Tapi, sepertinya Anisah rindu mau ke kampung lagi, kangen berada di pangkuan neneknya tercinta.

Wajarlah, ketika berada di kampung neneknya, desa Laubuluh. Anisah sering diajak ke kebun oleh neneknya. Di sana ia bisa memetik buah-buahan sesuka hatinya. Kebun yang tidak seberapa luas itu dirawat dengan baik oleh sang nenek sehingga banyak tumbuhan dan buah-buahan yang ada di dalamnya. Ditambah lagi sayuran yang sangat disukai Anisah seperti daun singkong dan bayam.

Baca lebih lanjut

FLP Semarang Writing Super Camp

Adisaputra Nazhar,
Syah Azis Nangin

Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Semarang membentuk calon penulis muda melalui Writing Super Camp. Kegiatan ini merupakan format baru dari Open Recruitment (OPRECT) yang dilaksanakan serempak di Kota Semarang. Kegiatan ini adalah salah satu gawean besar FLP Semarang dengan mendatangkan para penulis dan trainer tingkat nasional dalam rangka merekrut anggota baru.

Pada awal tahun 2008 anggota FLP sudah tersebar ke berbagai daerah di Kota Semarang yang kemudian dikonsentrasikan di empat ranting yang merupakan simpul masa dari mahasiswa perguruan tinggi. Keempat Ranting itu adalah, Tembalang yang didominasi oleh mahasiswa POLINES, Sekaran yang didominasi oleh mahasiswa UNNES, Peleburan yang didominasi oleh mahasiswa UNDIP dan IKIP PGRI, dan Ngaliyan yang didominasi oleh mahasiswa IAIN Walisongo. Berawal dari keprihatinan akan adanya ketimpangan materi kepenulisan di tiap-tiap ranting jika rekrutmen diadakan secara terpisah, maka dirumuskanlah format baru acara Writing Super Camp yang diadakan serempak di kota Semarang.

Tujuan dari diadakannya Writing Super Camp ini adalah untuk memberikan materi ke-FLP-an dan dasar-dasar kepenulisan yang sama dan merata ke seluruh Ranting FLP di Semarang. Event ini juga akan mempererat tali persaudaraan anggota dan calon anggota FLP se-Semarang yang selama ini terpisah oleh jarak.

Winas Nazul, ketua FLP Semarang juga menyebutkan, bahwa setelah acara ini terlaksana para peserta mau dan mampu membut tulisan yang mencerahkan dan tidak menyesatkan serta berani menulis kebenaran. “Just be Brave to Write the Truth”.

Sebanyak 58 peserta mengikuti acara ini yang tersebar dari empat ranting di Kota Semarang yaitu dari Ranting Tembalang, Sekaran, Ngaliyan, dan Peleburan. Secara umum peserta adalah mahasiswa. Selain itu, ada juga peserta yang sudah berprofesi sebagai dokter dan karyawan pada perusahaan tertentu. Bahkan ada juga peserta yang berasal dari kalangan pelajar SMK dan SMA. Namun, serupa dengan tahun-tahun sebelumnya bahwa acara ini selalu didominasi oleh perempuan hampir tiga berbanding satu.

FLP Writing Super Camp dilaksanakan intensif selama dua hari berturut-turut yaitu pada hari Sabtu-Ahad tanggal 12-13 Maret 2011 dan diadakan di dua tempat yaitu Masjid Darul Hikmah Politeknik Negeri Semarang (Polines), Tembalang dan Kampus Hijau SDIT Bina Insani, Banyumanik.

Hari Sabtu pukul 13.00 Wib acara dimulai setelah peserta berkumpul di Masjid Darul Hikmah Politeknik Negeri Semarang dengan serangkaian acara yang telah dirancang oleh panitia. Kemudian pada hari Ahad pukul 07.00 Wib peserta melakukan long march ke Kampus Hijau SDIT Bina Insani. Melalui long march, peserta berjalan sambil puisi, pantun, dan pribahasa. Dengan jarak sekitar 2 kilometer tersebut, peserta mampu menciptakan puluhan puisi, pantun, pribahasa yang kemudian ditandingkan dalam berbalas pantun, puisi, dan peribahasa di SDIT Bina Insani.

Adisaputra Nazhar, ketua panitia acara tersebut mengatakan, “Jalan-jalannya para penulis harus berbeda dengan jalan-jalannya orang awam. Penulis berjalan menghasilkan karya sedangkan orang awam berjalan menghabiskan waktu, uang, dan tenaga”.

Ada banyak hal unik dari acara ini di samping long march tersebut. Hiburan seru juga diberikan panitia untuk merangsang mereka saling berkenalan satu sama lain. Para peserta diminta berbaris dalam satu shaf dengan mengurutkan nama mereka secara alfabetis, dari A sampai Z. Kegiatan ini berlangsung riuh karena memaksa peserta saling berkenalan satu sama lain dan harus saling menggeser posisi ketika mengetahui namanya lebih awal urutan dari nama temannya yang lain.

Setelah pembagian kelompok, tugas pertama yang harus mereka kerjakan adalah membuat ‘novelet berantai’. Para peserta diminta membuat novelet yang jumlah BAB-nya berdasarkan jumlah anggota. Pembuatan novelet berantai ini menuntut kekompakan para anggota kelompok dalam merumuskan ide, karena tidak mudah untuk menuliskan novel sesuai dengan alur cerita jika para anggota kelompok tidak terkoordinir dengan baik. Novelet akan dikumpulkan usai acara pada esok harinya pukul 14.00 Wib sebelum acara ditutup.

Perkenalan tentang Forum Lingkar Pena dipandu oleh Adisaputra Nazhar sebagai ketua FLP Ranting Tembalang dan dibantu oleh Siti Muawanah (ketua FLP Ranting Ngaliyan), Umbara al-Mafaaza (ketua FLP Ranting Pleburan), Aqil Zulfikar (ketua FLP Ranting Sekaran), Syah Azis Perangin Angin (FLP Cabang Semarang) dan Ali Margosim Chaniago mewakili Majelis Pertimbangan Pengurus (MPP) FLP Semarang. Para peserta sangat antusias untuk kenal lebih dekat dengan FLP sehingga acara yang dimulai pukul 19.30 harus berakhir pada pukul 23.00 Wib.

Setelah rehat selama lebih kurang tiga jam, peserta kembali dibangunkan pukul 02.00 Wib untuk melaksanakan sholat tahajud berjamaah. Kemudian dilanjutkan dengan renungan malam tentang Hakikat Hidup yang disampaikan oleh Roh Agung D Wicaksono, ketua Human Resource Department FLP Cab. Semarang. Terlihat peserta mulai meneteskan air mata merenung memikirkan siapa sebenarnya kita, untuk apa kita dilahirkan ke dunia ini, dan ke mana kita akan dikembalikan lagi. Setelah renungan usai, peserta diberikan kembali beristirahat sembari menunggu panggilan azan subuh. Namun ada juga yang peserta yang masih berusaha merampungkan tulisan novelet.

Pukul 06.00 Wib di saat kabut masih belum sirna dari bumi Tembalang, peserta dan panitia melakukan olah raga, mulai dari senam ringan sampai pada latihan berat. “Ini kok seperti kemp pelatihan militer saja”, celetuk seorang peserta putra ketika panitia dan seluruh peserta sedang melakukan push up sebanyak 20 kali.

Ketua panitia menyebutkan, “olah raga pagi ini bertujuan untuk menyegarkan raga yang mungkin kelelahan karena mengikuti rangkaian acara apalagi alokasi waktu untuk tidur yang terbatas. Setelah selesai olah raga diharapkan para peserta siap hijrah ke lokasi kedua, Kampus Hijau SDIT Bina Insani”.

Pada hari Ahad, materi tentang kepenulisan disampaikan kepada peserta. Panitia mendatangkan Agus M Irkham untuk menyampaikan materi tentang menyampaikan Proses Kreatif Menulis yang dimoderatori oleh Syah Azis perangin Angin. Beliau menyampaikan proses penggalian ide, mengubahnya menjadi tulisan hingga akhirnya bisa menjadi sebuah buku. Kantuk peserta mulai hilang karena Agus M Irkham yang piawai dalam menulis juga bisa kocak dalam menyampaikan materi. Terlihat mata peserta yang membelalak mendengarkan materi dan diselingi beberapa kali tawa peserta.

Acara berakhir pada hari Ahad pukul 15.00 wib setelah peserta dilantik untuk menjadi anggota FLP Semarang. Pelantikan dipandu oleh Ali Marghosim Chaniago, Ketua Majelis Pertimbangan Pengurus (MPP) FLP Cabang Semarang. Setelah Pin disematkan kepada peserta maka mereka secara resmi telah terdaftar sebagai anggota FLP Cabang Semarang. Setelah itu mereka harus siap menerima “virus-virus” kepenulisan yang akan disuntukkan kepada calon-calon penulis muda bangsa ini melalui sekolah-sekolah menulis FLP di masing-masing ranting.

Lokalitas & Tradisionalitas*

Oleh: Benny Arnasa**

SUNGGUH menyedihkan, ketika membincangkan lokalitas dalam sastra, maka yang serta-merta terbersit dalam pikiran adalah karya yang bermuatan unsur kedaerahan; nama tempat, dialek, tradisi, mitos, hikayat, sejarah, dan kearifan lokal.

Lho? Bukankah hal-hal tersebut menjadi bahan utama sebuah karya yang mengusung lokalitas? Pun kalau salah, memangnya lokalitas dalam sastra itu apa?

Sejatinya, muatan kedaerahan sangatlah tidak salah untuk dikaitkan atau bahkan dimasukkan ke dalam kotak ‘lokalitas’. Hanya saja, semua itu tak dapat langsung dijadikan sebagai penanda tunggal untuk definisi lokalitas. Muatan kedaerahan cenderung mengerucut pada sebuah lingkup yang bernama tradisionalitas. Tradisionalitas inilah yang kerap salah dipersepsikan. Tradisionalitas kerap dianggap sama dengan lokalitas. Padahal tradisionalitas hanya bagian atau varian dari lokalitas.

Melanie Budianta memberi batasan ‘lokalitas’ sebagai sesuatu yang partikular (yang tertentu). Agus R. Sarjono melihat ‘lokalitas’ sebagai penajaman perspektif. Lebih jauh ia menyatakan bahwa menjadi lokal, tak lain dan tak bukan, menjadi pribumi untuk tema-tema yang diangkat. Raudal Tanjung Banua menyatakan bahwa ‘lokalitas’ adalah ‘iman’ estetik dan tematik yang dikukuhi. Raudal lebih menyoroti bagaimana kemampuan para pengarang mengeksplorasi tema dengan baik, dalam, kuat, dan memberikan ‘taste’ tersendiri terhadap karyanya.

Ya, menjadi lokal adalah menyelami tema-tema sastra dengan sepenuh hati. Mencintai apa-apa yang ia karang dengan mesra. Hingga akhirnya, selain meng-upgrade kemampuan pembaca dalam memaknai cerita, juga melahirkan keintiman psikologis dengan pembaca. Maka, lokalitas dalam sastra adalah bagai menyaksikan taman bunga yang harum. Harum yang partikular. Ada aroma mawar, melati, anyelir, atau wangi bunga yang lain. Maka, adalah sangat menarik, berkenaan dengan buku “Orang-orang Bloomington”-nya, Budi Darma mencuatkan istilah “lokalitas Orang-orang

Bloomington”. Maka, dengan semua keberhasilannya, Ahmad Tohari dapatlah dikatakan menyerusi lokalitas-desa; pada beberapa karyanya Habiburahman cenderung pada lokalitas-Mesir atau lokalitas-pesantren, Helvy Tiana Rosa dengan lokalitas-profetik, Rag Di F. Daye dengan lokalitas-Minangkabau, Hamsad Rangkuti dengan loklaitas-urban, dalam kumpulan cerpen

Kali Mati, Joni Ariadinata tampak setia pada lokalitas-gelandangan, dll.

DALAM perkembangannya, ‘lokalitas dengan variannya’ tak dapat secara otomatis disematkan pada pengarang. Ini bukan perkara inkonsistensi, namun lebih pada keinginan untuk melakukan ekplorasi. Baik itu ekplorasi tema, maupun gaya garapan. Namun begitu, pada pengarang-pengarang yang sudah kuat dan mapan kemampuan kesusastraannya, tema apa pun yang mereka garap, dapat kita kenali jejaknya. Hal inilah, menurut saya, yang dikatakan Raudal Tanjung Banua sebagai ‘iman estetik’. Pengarang yang sudah ber-‘iman’ niscaya akan melahirkan karya-karya yang memiliki kekuatan estetik, atau bahasa popularnya ciri khas. Pengarang yang sudah memiliki ciri khas dalam teknik garapan akan jauh lebih muda menghasilkan karya-karya yang memiliki kecenderungan lokalitas. Karya-karyanya mampu menghadirkan kedekatan psikologis dengan pembaca. Hasan al Banna, Joni Ariadinata, dan Habiburrahman el Shirazy—sekadar menyebut beberapa contoh—adalah pengarang-pengarang yang telah berada dalam taraf itu.

Ada beberapa persepsi tentang lokalitas yang rasanya perlu untuk ditinjau kembali.

Pertama, selama ini lokalitas ‘kadung’ melekat pada simbol-simbol kedaerahan. Ketika ada cerita-cerita yang mampu menggunakan dan atau menggali nama tempat, dialek, tradisi, mitos, hikayat, sejarah, dan kearifan lokal, maka ia akan terkodifikasi ke dalam ranah lokalitas. Padahal, belum tentu karya-karya yang memakai simbol/unsur kedaerahan tadi mampu mengeksplorasi unsur-unsur cerita dengan optimal. Inilah yang menyebabkan ‘lokalitas’ yang dipersepsikan pada karya tersebut tak lebih sebagai tempelan semata. Artinya, menggarap tema-tema daerah, tidaklah otomatis membuat karya tersebut disebuat sebagai karya—yang mengandung unsur—lokalitas.

Kedua, lokalitas kerap disamakan dengan tradisionalitas. Ketika karya sastra mengangkat budaya lokal, perihal kearifan lokal, hikayat, mitos, dan sejenisnya, maka dengan ‘semena-mena’ karya tersebut dilabeli lokalitas. Karya-karya yang mampu mengeksplorasi aspek tradisi(onal?) dengan baik tentulah dapat dikatakan sebagai karya lokalitas, lokalitas-daerah. Namun, yang perlu dicermati adalah, karya-karya yang mengangkat tradisi(onal?) belum tentu mampu tampil dengan baik, belum tentu menampilkan ke-daerah-annya dengan baik, belum tentu mampu menampilkan lokalitas, belum tentu adalah karya lokalitas! Artinya, tradisionalitas adalah lokalitas, namun lokalitas tidak melulu tentang tradisionalitas. Lokalitas tidak sama dengan tradisionalitas karena tradisionalitas hanya salah satu bidang eksplorasinya saja.

Ketiga, tradisionalitas (yang kerapkali disebut lokalitas) dalam sastra kerapkali dikatakan sebagai karya yang mengangkat kearifan lokal. Padahal, faktanya, karya-karya tradisionalitas justru menampilkan betapa TIDAK ARIF-nya tradisionalitas/lokalitas yang ada di daerah mereka. Beberapa contoh adalah;  Novia Syahidah memaparkan kejawen sebagai tradisi yang bertentangan dengan ajaran agama (Islam) dalam Putri Kejawen, Raudal Tanjung Banua memaparkan bahwa perempuan yang meninggal dunia karena jatuh dari pohon adalah sebuah ketidakarifan dalam Perempuan yang Jatuh dari Pohon, atau Khrisna Pabicahara yang membeberkan kepada publik bahwa orang tua-orang tua di Makasar yang menerima pinangan terhadap anak gadisnya atas dasar besar/kecilnya jumlah mas kawin yang ditawarkan pihak pelamar (lelaki) adalah sebuah penghinaaan atas perempuan sendiri dalam Silariang….

HAL lain yang perlu ditelisik adalah, tradisionalitas (atau lokalitas) seolah selalu tak habis-habisnya untuk dijadikan bahan cerita dalam kesusastraan Tanah Air. Hal ini tak dapat dilepaskan oleh faktor geografi dan budaya Indonesia. Dengan ribuan pulau, ratusan suku bangsa, bahasa, dan perbedaan budaya, sangatlah wajar bila tradisionalitas selalu up date, selalu menarik untuk diketengahkan dalam karangan.

Dalam sebuah perbincangan tentang lokalitas oleh Komunitas Meja Budaya di Pusat Pendokumentasian Sastra (PDS) HB Jassin, November 2010, Zen Hae menyatakan bahwa unsur-unsur kedaerahan yang menyusup (bahkan mewarnai) sebagian karya-karya lokal, membuat bingung; menimbulkan pertanyaan: ini sastra Indonesia atau sastra daerah? Lalu, untuk apa lokalitas (tradisionalitas) ditulis/dijadikan unsur cerita apabila citarasa lokalnya akan serta-merta hilang bila diterjemahkan ke dalam bahasa asing (Inggris).

Sekilas, pernyataan Zen Hae terdengar sangat masuk akal. Namun begitu, harus dikembalikan lagi pada geo-kultur Indonesia sendiri. Dengan ke-bhineka-annya, maka sastra-daerah adalah refleksi adalah sastra Indonesia itu sendiri. Beragamnya nuansa kedaerahan yang muncul dalam karya sastra menunjukkan betapa bergeliatnya sastra Tanah Air. Betapa penggiat sastra negeri ini memiliki milintasi untuk menampilkan otentitasnya, menampilkan identitasnya yang murni, paling tidak dari tema-tema genuine (asli daerah) yang mungkin saja hanya terdapat di daerah mereka. Misalnya, uang jumputan di Minangkabau, warahan di Lampung, senjang di Sumatera Selatan, atau pemakaian koteka bagi lelaki di Papua.

Bagaimana dengan alih-bahasa yang memungkinkan hilangnya rasa lokal pada karya lokalitas-tradisionalitas. Tentang ini, tak sepenuhnya dapat diiyakan. Beberapa karya Garcia-Marquez yang dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, masih terasa America Latinnya, atau masih terasa realisme-magisnya; atau karya-karya Akutagawa Ryunosuke ketika dialihabahasakan ke bahasa Indonesia, masih terasa Jepang-nya. Artinya, sangat tergantung pada—kemampuan dan sensitivitas—penerjemahnya. Sejauh mana ia mampu mencari padanan kata yang mewakili rasa cerita yang diterjemahkan. Namun begitu, hal yang paling penting untuk disadari dengan saksama adalah, ke-Indonesia-an kita telah melahirkan keberagaman yang kaya, termasuk tardisionalitas di dalamnya. Belum lagi, kecenderungan pembaca yang menyukai hal-hal yang belum mereka ketahui (termasuk apa-apa yang terjadi di daerah lain), telah membuat tema tradisionalitas sejatinya masih begitu menarik untuk diangkat dan digali. Hal lain yang perlu ditambahkan adalah bila sebelum mengangkat tradisionalitas dalam karangan kita harus memikirkan “apakah rasa lokalnya masih akan ada atau hilang”, alangkah repotnya mengarang tradisionalitas itu!

KHATIMAH, mari kita menghasilkan karya yang berhasil menampilkan lokalitas. Jangan pernah ragu untuk mengangkat tradisionalitas sebagai bahan baku lokalitas cerita. Sejatinya masih begitu banyak unsur tradisionalitas yang belum digali dan ditunggu-tunggu pembaca. Untuk memberikan beragam warna pada sastra, agar mampu mencerahkan, cerah yang berwarna, warna yang indah….

***

Sleman, 04 Februari 2010

* Makalah Lokalitas dan Tradisionalitas disampaikan dalam Upgarding Nasional FLP di Wisma Eden, Sleman, Jogjakarta, Jumat, 4 Februari 2011

** Benny Arnas lahir di Lubuklinggau, 27 tahun yang lalu. Karyanya tersebar di media lokal, nasional, dan internasional. Meraih beberapa penghargaan sastra, di antaranya Anugerah Batanghari Sembilan (2009), Krakatau Award kategori Puisi (2009), dan Krakatau Award kategori Cerpen (2010). Ia juga diundang dalam even sastra internasional Ubud Writers & Readers Festival 2010. Buku terbarunya kumpulan cerpen Bulan Celurit Api (Koekoesan, 2010). Saat ini, ia bergiat di FLP Lubuklinggau. Hp. 081373534051

Kupu-Kupu Masjid Istiqlal

Oleh: Syah Azis Perangin Angin

(Diterbitkan dalam Antologi Cerpen Festival Bulan Purnama Trowulan 2010, DKM Mojokerto)

Matahari di ufuk barat mulai kembali ke peraduannya. Awan sore sudah mulai memerah memancarkan lazuradi menandakan sebentar lagi azan magrib akan berkumandang. Namun suasana di sekitar masjid Istiqlal masih tampak sepi. Ditambah lagi cuaca mendung membuat umat Islam malas untuk melangkahkan kakinya untuk menunaikan shalat Maghrib berjama’ah ke masjid tersebut. Hanya mereka yang tebal imannya akan tersentuh hatinya mendirikan sholat berjama’ah di masjid sebesar ini. Apalagi posisi masjid berada di pusat kota metropolitan dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan besar serta pertokoan maka bakal bisa dihitung jumlah jama’ah yang akan melaksanakan sholat Magrib di masjid ini. Satu shof sholat pun mungkin tidak penuh.

Kemegahan bangunan masjid ternyata mengundang wisatawan yang berziarah ke masjid ini untuk mengambil gambar sebagai bukti bahwa mereka pernah berkunjung ke masjid Istiqlal. Masjid ini merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara yang dibangun atas rasa syukur kepada Allah terhadap kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia. Karena itulah masjid dinamai dengan nama “Istiqlal” yang berarti kemerdekaan. Keunikan masjid pun terlihat dari bentuk bangunannya yang berbeda dengan masjid-masjid lain. Gereja di seberang masjid menambah pemandangan menarik sehingga masjid kelihatan unik. Gereja itu adalah Gereja Kathredal. Gereja ini berdiri kokoh di depan Masjid Istiqlal. Rencana posisi ini merupakan simbol kerukunan dua agama besar bangsa Indonesia.

Wajar saja kalau masjid ini kelihatan megah dan unik karena dalam proses pembangunannya melalui tahapan yang begitu panjang. Bahkan untuk merancang bentuk bangunan konon Ir. Soekarno – presiden pertama RI – mengadakan sayembara dan akhirnya dimenangkan oleh Frederich Silaban. Ia merupakan salah satu lulusan terbaik dari Academie van Bouwkunst Amsterdam tahun 1950. Selain membuat desain masjid Istiqlal ia juga merancang kompleks Gelanggang Olahraga Senayan. Ia merupakan arsitek kelahiran Sumatra yang beragama Kristen. Tidak aneh kalau bentuknya unik bahkan menyerupai gereja.

Setelah aku menikmati suasana sore taman masjid Istiqlal kucoba untuk berpindah berkeliling menikmati suasana di sekitar masjid. Masjid yang dikelilingi oleh taman dan beberapa jalan besar ini kuitari layaknya jama’ah haji yang sedang tawaf mengelilingi Ka’bah di Mekah. Lelah juga hingga akhirnya aku berhenti di sekitar jalan Veteran yang berada di sebelah utara masjid. Kelihatan banyak mobil pribadi yang berseliweran. Tidak jarang juga kelihatan Busway berlalu-lalang karena haltenya berada di antara Jl. Veteran dan Jl Juanda.

Di sepanjang Jl Veteran terlihat banyak orang-orang berbaris lurus. Mereka terlihat seperti pasukan PASKRIBA yang ingin mengibarkan bendera Merah Putih.  Hanya saja mereka tidak mengenakan seragam yang sama. Bahkan pakaian mereka kelihatan lusuh dan tidak rapi. Anak-anak, remaja, orang tua, bahkan yang sudah nenek-nenek pun ikut meramaikan barisan. Tidak pandang jenis kelamin, laki-laki dan perempuan ikut berpartisipasi aktif.

Ternyata mereka hanya joki yang menawarkan diri mereka kepada mobil-mobil pribadi yang melalui jalan tersebut. Pemerintahan provinsi DKI telah menetapkan jalan tersebut sebagai kawasan three in one. Yang maksudnya adalah bahwa setiap mobil yang lewat jalur ini wajib memiliki penumpang 3 orang atau lebih. Kebijakan ini dijalankan untuk menekan jumlah mobil yang ada di Jakarta dengan tujuan mengurangi tingkat kemacetan di Ibu Kota. Suasana ini dimanfaatkan oleh para joki tersebut untuk menawarkan jasa terhadap mobil-mobil yang melalui jalur tersebut. Agar mereka ikut diangkut dalam mobil pribadi yang penumpangnya kurang dari tiga orang. Kemudian mereka akan mendapat imbalan uang dari jasa yang telah mereka berikan.

Di dekat tempatku berhenti terlihat seorang perempuan yang berusia sekitar 20-an juga ikut menawarkan jasa. Perawakannya agak pendek dengan rambut hitam lurus dan agak panjang. Rambut bagusnya diikat dengan ikat rambut berwarna hitam dari karet gelang agar tidak berantakan diterpa angin kendaraan yang melintas di depannya. Ia memakai sandal Jepang biru, lugu sekali seperti baru merantau mengadu nasib ke Jakarta. Pakaian yang dikenakan berupa kemeja hem berwarna kuning dengan stiker Kupu-Kupu di bagian dada kirinya. Aku belum sempat berkenalan dengannya, karena itu aku sebut dia Kupu.

Dia juga menawarkan diri agar ada mobil yang akan membawanya melewati kawasan tree in one dan mendapat imbalan uang sebagai tanda terima kasih dari pemilik mobil.

“Satu.. Satu.. Satu..” Ia beraksi menawarkan diri dengan penuh harap. Sambil mengangkat tangan dan mengacungkan jari telunjuknya mengisyaratkan bahwa ia punya satu orang untuk ditumpangkan bersama terhadap mobil yang kekurangan penumpang.

Satu, dua, tiga, mobil yang lewat. Tapi ternyata tidak ada yang mau menerima jasa yang ia tawarkan. Terlihat ia begitu lelah berdiri tapi tetap berusaha sekuat tenaga hingga nanti ada yang mau mengangkutnya.

***

 

“Allah akbar.. Allah akbar..”

Terdengar suara azan Maghrib berkumandang dari menara masjid Istiqlal. Begitu keras, tapi para joki itu tetap saja berbaris seperti tentara seraya menawarkan jasa kepada sopir-sopir mobil pribadi yang lewat melalui jalan tersebut. Mereka seakan tidak mendengar panggilan azan tersebut. Kasihan benar mereka. Dalam keadaan susah pun tidak ingat kepada Dzat yang Maha pemberi rizki bagi seluruh makhluk-Nya. Hanya beberapa orang saja yang mencoba menghentikan aktivitas untuk shalat Maghrib sejenak kemudian melanjutkan aktivitas kembali.

Sementara si Kupu. Ia berdiri kokoh tanpa berubah posisi menghadap jalan raya. Walaupun sebenarnya kakinya sudah kelihatan lemas. Kelihatan ia memijat sendiri paha dan betisnya dengan menggunakan tangan kirinya sedangkan tangan kanan tetap di atas. Ia juga tidak sholat. Aku mencoba untuk berbaik sangka. Barangkali ia sedang halangan atau mungkin juga ia bukan seorang perempuan yang beragama Islam. Sehingga suara azan yang begitu jelas terdengar tidak ia hiraukan.

“Satu.. Satu..” kata yang sama ia terus ulang-ulangi.

Akhirnya ada juga yang mobil yang menghampirinya. Mobil Avanza berwarna hitam dengan kaca yang ditempel stiker berwarna gelap berhenti tepat di depannya. Mobilnya kelihatan gagah. Di depan ada dua orang laki-laki, satu orang pengemudi dan satu orang duduk di samping sopir. Berarti mereka kurang satu orang lagi. Pak sopir yang menggunakan baju hem dan satu orang lagi yang duduk gagah bersetelan jas putih duduk manis di samping pak sopir.

Pintu belakang dibuka otomatis memberi isyarat agar perempuan itu masuk karena mereka kekurangan satu orang penumpang. Tapi. Terlihat perempuan itu  ragu untuk masuk ke dalam mobil. Perasaannya tidak enak. Seakan ia akan masuk ke mulut buaya yang siap untuk memangsa. Namun ia tetap saja masuk, berharap semua akan baik-baik saja karena ia butuh uang. Sebelum pintu ditutup aku melompat ke dalam tanpa ada yang mengetahui. Aku berhasil masuk. Pintu ditutup kembali. Mobil melaju melanjutkan perjalanan. Kupu duduk di bangku tengah, sementara aku duduk manis di belakang. Aku kedinginan karena AC mobil yang tetap dihidupkan.

Beberapa menit setelah mobil melaju. Pria yang berjas hitam tadi pindah ke belakang dan duduk mepet dengan Kupu. Lama-lama ia mulai bertingkah tidak wajar, mencoba merayu Kupu

“Halo Cantik.”

Sambil membelai pipi Kupu, pria itu merayu dan mencumbunya. Tangannya yang besar membuat Kupu tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya terdiam. Ingin berontak tapi khawatir pria itu akan marah. Dalam ketidakberdayaan ia mencoba menghindar semampunya. Walau demikian Kupu mencoba untuk tetap tersenyum walaupun terasa dipaksakan. Ia mencoba melebarkan sedikit bibirnya agar kelihatan senyum dan ramah terhadap pelanggan.

***

 

Hari semakin gelap, aku tidak tahu lagi ke mana mobil sudah melaju. Jalanan  semakin sepi, yang ada hanya lampu jalan yang sesekali menerangi bagian dalam mobil. Sepanjang perjalanan tidak ada kalam. Yang ada hanya rayuan dan cumbuan Pria itu hidung belang itu yang terus membelai Kupu. Ingin aku tendang pria itu sehingga tersungkur dan kulemparkan ke luar mobil. Aku tidak tahan melihat tingkahnya yang mencoba mempermainkan Kupu. Tapi apalah dayaku. Aku lemah. Tulang-tulangku lunak. Seandainya aku menendang pria itu mungkin ia akan langsung membunuhku dan dicampakkan ke jalan raya dan entah apa yang akan terjadi setelah itu.

Kali ini perempuan itu benar-benar tidak berdaya. Ia terpojok dan tersekap di dalam mobil membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Ia meronta penuh harap kepada pria itu agar tidak berbuat kurang ajar padanya.

“Jangan Om!” Kupu memohon agar pria itu tidak berbuat menggerogotinya. Tapi. Sepertinya pria itu tuli, tidak menghiraukan rintihan Kupu. Begitu cepat tangannya langsung menjamah baju Kupu bagian depan dan mencoba merobeknya tapi Kupu mencoba bertahan dan yang terputus hanya satu buah kancing baju Kupu bagian depan.

Tiba-tiba mobil berhenti. Ternyata ada lampu merah di depan. Beberapa kendaraan ada di samping mobil pria brengsek itu. Kesempatan ini dimanfaatkan Kupu untuk berteriak meminta tolong. Tapi semua orang memang sepertinya tuli. Tidak ada yang mendengar. Tapi aku. Jelas sekali kudengar jeritan itu. Aku bahkan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Peria itu begitu jahat. Kupu dalam keadaan terjepit. Pintu mobil pun terkunci dengan keras. Pak Sopir hanya terdiam seribu bahasa tidak mau membantu Kupu. Sepertinya mereka memang sudah sekongkol.

Lampu jalan berganti Biru. Mobil melaju kembali hingga aku benar-benar buta terhadap daerah ini. Sekarang jalanan benar-benar sepi. Entah di mana kami sekarang. Di ujung dunia mana aku sedang berada. Kupu letih melawan pria hidung belang itu. Karena keletihan dan tidak sanggup melawan ia pasrah tidak berdaya. Pria itu akhirnya “menggagahinya”. Betapa hancurnya hati Kupu menghadapi ini. Dia yang tadinya menawarkan jasa sebagai joki namun akhirnya ia diperkosa.

Aku kembali ingin menarik dan memukulinya. Ingin kupotong kemaluannya agar tidak kurang ajar terhadap perempuan. Sepertinya ia tidak pernah berpikir kalau hal yang sama menimpa saudara perempuannya atau bahkan putrinya. Tapi. Aku juga tidak berdaya. Aku bahkan lebih lemah dari Kupu. Sungguh ingin aku mencegah tapi aku tidak mampu. Bahkan aku lebih lemah dari Kupu. Kaki-kakiku tidak sekuat kaki Kupu. Tangan-tanganku bahkan lebih halus dari rambut pria. Apa lagi sayapku. Begitu rapuh. Aku mencoba menghantamnya dengan ekorku tapi.. Apalah dayaku. Aku ditepuk sehingga sayapku harus robek. Ingin rasanya aku membesar sehingga bisa menerjangnya dengan kaki-kakiku, menghantamnya dengan ekorku, serta menghempaskannya dengan sayapku.

Tapi apalah dayaku karena aku hanya seekor kupu-kupu yang ditakdirkan berbadan kecil. Hanya keindahan yang bisa kupancarkan dari warnaku sehingga menggoda siapa saja yang ingin bermain denganku. Bahkan banyak anak manusia yang tidak raku untuk membunuhku.

Setelah selesai melampiaskan nafsu bejatnya, pria itu mencampakkan Kupu begitu saja dari dalam mobil. Kupu hanya bisa menangis tersedu. Air matanya deras mengalir Pandangannya kosong seakan sudah tidak ada harapan lagi dalam hidup ini. Ia tergeletak di pinggir jalan dan berusaha untuk bangkit namun terjatuh kembali. Tidak kuat menahan derita, ia bahkan depresi karena tekanan batin yang tidak tertahankan.

Sementara pria tadi pergi begitu saja lari dengan mobil Avanza-nya. Tidak ada kata ucapan terima kasih terhadap jasa ia berikan sehingga bisa lewat melalui kawasan tree in one. Yang ada hanya cengiran miris layaknya seperti iblis terlaknat lebih rendah dari binatang. Cuihihh. Ingin kuludahi mukanya.

Aku melompat keluar mobil.

***

 

Pagi ini cuaca agak cerah seakan mengerti hatiku yang sedang bahagia dan semangat untuk menjalani hari-hariku. Aku bahkan hampir lupa tentang kejadian buruk yang aku lihat dua hari yang lalu. Sekarang aku sudah berada di taman masjid Istiqlal lagi setelah kemarin melalui perjalanan panjang yang melelahkan. Aku sangat senang tinggal di taman masjid karena gema azan dan bacaan Qur’an selalu terdengar dari menara masjid. Suasana ini mengingatkanku kepada Tuhan Pencipta alam semesta dengan segala isinya.

Dari jauh terlihat ada seorang pria paroh baya sedang duduk di halaman masjid. Sepertinya ia baru selesai mengerjakan sholat Dhuha. Bajunya sangat norak berwarna merah mengundang hasratku untuk menghampirinya. Setelah berputar-putar di atas kepalanya, terlihat di tangannya terbentang koran lokal yang sedang dia baca dengan seksama dibantu dengan kaca matanya yang tebal itu.

HEADLINE HEWS

Karena diperkosa, Joki 3 in 1 Bunuh Diri

“seorang perempuan yang tidak diketahui diduga sebagai joki 3 in 1 ditemukan tewas di bantaran sungai Ciliwung. Ia diduda tewas bunuh diri melompat dari jembatan sungai ciliwung. setelah diperiksa oleh tim Forensik kepolisian diduga korban bunuh diri setelah diperkosa”

Ada photo di koran itu. Ia tidak asing bagiku karena aku baru saja bertemu dengannya dua hari yang lalu. Aku kenal tubuh itu, pakaian, rambut, bahkan masih utuh terikat dengan karet gelang berwarna hitam. Ia jelas sekali. Allah akbar… Ia adalah Kupu. Malang benar nasibmu. Malang benar nasibmu. Aku berharap tidak ada Kupu Kupu yang lain setelahmu. Walaupun mungkin ada, semoga tidak ada pria hidung belang yang tidak bertanggung jawab mengganggumu.

Jakarta, 20 Maret 2010

Lomba Cipta Cerpen OBSESI PRESS

Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) OBSESI Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto bekerjasama dengan Dewan Ekskutif Mahasiswa (DEMA) STAIN Purwokerto kembali menggelar LOMBA CIPTA CERPEN TINGKAT MAHASISWA SE-INDONESIA untuk tahun 2011 ini. Rekrutmen naskah cerpen dimulai sejak Selasa 1 Februari 2011, dan batas akhir pengumpulan naskah cerpen Kamis 31 Maret 2011.

Tema cerpen bebas, tetapi berlatar belakang kearifan lokal. Panjang cerpen berkisar 5 halaman sampai maksimal 10 halaman kwarto. Memakai font times new roman size 12. Diemailkan ke : obsesipress@gmail.com dan di-CC ke: lpmobsesi@gmail.com

Lomba ini akan memilih 3 judul cerpen pemenang dan nominator, dan akan diterbitkan oleh Penerbit Obsesi Press.

* Juara ke-1 akan mendapatkan: uang tunai Rp.1.500.000, piala bergilir, piala tetap, sertifikat pemenang, dan 5 eksemplar buku antologi cerpen dari hasil lomba tersebut.

** Juara ke-2 akan mendapatkan: uang tunai Rp.1.000.000, piala tetap, sertifikat pemenang, dan 5 eksemplar buku antologi cerpen dari hasil lomba tersebut.

*** Juara ke-3 akan mendapatkan: uang tunai Rp.500.000, piala tetap, sertifikat pemenang, dan 5 eksemplar buku antologi cerpen dari hasil lomba tersebut.

Sementara itu, para nominator akan mendapatkan sertifikat pemenang, dan 2 eksemplar buku antologi cerpen dari hasil lomba tersebut.

Adapun Dewan Juri terdiri dari: Drs. Joni Ariadinata (Cerpenis, Redaktur Majalah Sastra HORISON, Jakarta), Abdul Wachid B.S. M.Hum. (Kritikus Sastra, Dosen Ilmu Sastra), dan Heru Kurniawan, M.A. (Kritikus Sastra, Dosen Ilmu Sastra).

Panitia Lomba Cipta Cerpen Tingkat Mahasiswa se-Indonesia,
Ttd.

KRISNANTO (085 8798 53 444)